Menerawang Senja

11:37 PM Niluh Ayu Mutiara Ariyanti 0 Comments


Menerawang Senja
Karya : Niluh Ayu Mutiara Ariyanti


Cerita Fiktif dan Bukan Untuk Siapa-Siapa

Jalan setapak dipenuhi dengan ilalang dan bunga tak bertuan. Daki dan terus kudaki hingga kucapai puncak bukit tertinggi di belakang sekolah. Kamu terlihat sangat lelah. Jelas saja aku masih bisa membayangkan bagaimana desahan nafasmu yang mulai tak terarah. Keringat jatuh dari pelipis kananmu dan lalu menuju pipimu. Ternyata kamu lebih memilih menghapusnya menggunakan tangan kiri karena tangan kananmu terlihat kotor menghitam setelah tadi sempat terjatuh di atas gundukan tanah yang tidak rata. Lalu bersama kita tertawa lepas. Baju seragam kita terlihat lusuh sekali dan bau keringat perjuangan para pendaki. Ya, seusai kelas siang kita tak sempat berganti seragam dan memutuskan melihat senja sama-sama.

“Ayo cepat, dikit lagi kita sampai kok Zahra. Semangat!” Aku membalikkan wajahku kebelakang dan kembali melihat keadaanmu.

“Iya aku juga maunya cepat sampai Adnan” Wajahmu terlihat manja sekali saat itu.

Aku tersenyum memandang dirimu yang semakin terlihat lelah. Aku senang melihat setiap ekspresimu itu. Aku sempat berhenti sebentar untuk menunggu kamu yang masih tertinggal sekitar tiga hingga empat langkah dibelakangku. Aku sengaja tidak ingin membantumu agar kamu lebih terlatih. Entahlah apa yang ada dalam pikirku. Hanya aku senang saja melihat kamu yang selalu ingin berusaha berdiri dengan kaki sendiri, seperti saat itu. Mungkin juga karena aku sedikit jahil dan ingin mengerjaimu.
          
      “Wah, kita sampainya di waktu yang tepat! Lihat mataharinya tepat di ufuk barat. Bukankah ini bagian kesukaanmu? … iya kan?” Tak terdengar jawaban apa-apa bahkan hanya ada semilir angin yang meniupi rumput-rumput liar di bawah kakiku.

Tersadar bahwa tak ada sautan dari gadis itu, aku lalu membalikkan wajah kebelakang.

“Zahra, kamu dimana? Zahra! Ya ampun jangan main petak umpet dong.. Zahra!” aku memanggil-manggil namanya tetapi tak kunjung aku temukan.

Aku mulai panic seketika. Kepalaku terasa pening dan menjadi sangat berat. Jantungku berdebar tak karuan. Tubuhku seketika keringat dingin. Ya ampun, di mana dia? Ini pasti salahku. Mengapa harus aku tinggalkan dia duluan? Seharusnya aku sebagai cowok yang mengikuti dan menjaganya dari belakang. Sadar bahwa betapa bodohnya diriku. Seketika aku terdiam, tak mampu berpikir. Aku takut, takut sekali saat itu.

Bagaimana jika dia diculik orang? Bagaimana jika dia kesasar dan bingung jalan pulang? Walaupun sudah beberapa kali kita ke tempat yang sama, namun Zahra bukanlah orang yang mudah menghafal jalan. Bagaimana jika dia terluka? Bagaimana jika dia dirampok orang? Bagaimana jika hal yang lebih buruk terjadi padanya? Pikiranku mulai melambung tinggi, memikirkan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi.

Sekitar dua puluh menit waktu berlalu, namun tak kunjung aku temui Zahra walau telah kucari di sekitar bukit yang telah kita lewati.

“Zahra, jangan bermain seperti ini! Cepat kemari! Kamu dimana! Jangan bikin aku panik seperti ini, please!” aku mulai khawatir, takut Zahra kenapa-napa.

Kakiku rasanya melemah, gemetaran. Aku terjatuh, kakiku tertekuk. Tanganku lemas, jantungku berdebar sangat kencang. Aku memandangi langit-langit sore dengan wajah tanpa ekspresi. Aku memukuli tanah, menjambak rerumputan. Aku tak dapat berhenti menyalahkan diriku.

Tiba-tiba dari belakang “Hey! Jangan melamun! Hahaha” Zahra mengagetkanku dengan menepuk pundak belakangku lumayan keras.

“Ya Ampun kamu dimana sih! Jangan gini lagi lain kali, aku kan takut kalau…”

“cie yang takut aku kenapa-napa.. ahahaha” dia lalu tertawa lepas sembari menggodaku.

“Ya, kan kamu masih kecil, takutnya hilang atau diculik orang” jawabku sedikit ketus namun senang karena ternyata dia baik-baik saja.

“yee, enak aja. Kita itu sama-sama udah kelas tiga SMA. Jadi aku bukan anak kecil lagi” wajahnya sedikit cemberut.

“iya sih, tapi kamu selalu kayak anak kecil dimataku. Lagian kamu sembunyi dimana sih tadi? Aku nyari-nyari kok gak ketemu? Sampai nyerah deh tadi, mana HP mati lagi! Gak bisa nelpon kamu atau nelpon polisi kan jadinya”

“Hahaha bohong amat bilang hape kamu mati. Aku tuh tau banget hari ini kamu lupa bawa hp ke sekolah!”

“hehehe ups ketahuan deh” aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Pipiku memerah, malu.

“hahaha Zahra tau dong! Hmm.. lagian masa nyari aku di bukit sepanggal ini aja mesti minta bantuan polisi sih? hahaha ternyata dari kecil sampai sekarang kamu gak pernah menang ya kalau main petak umpet sama aku”

“heem.. bukan gitu juga” aku ngambek dibuatnya, tapi mau apalagi memang seperti itu kenyataannya. Sejak kecil dia selalu menang jika bermain petak umpet.

“Aku itu tadi cuma istirahat aja di…” mata peri nya melirik ke arah sebuah batu yang tidak terlalu besar namun cukup untuk menyembunyikan tubuhnya yang mungil.

“Ya ampun di situ? Tapi kok tadi gak kelihatan?” aku tersentak kaget.

“gimana mau kelihatan, kamu kan Cuma hilir mudik naik turun di tempat kita jalan tadi sementara gak merhatiin sekitar dengan seksama” benar saja. Aku memang tidak hebat dalam mencari.

“Iya sih, huh aku kalah deh” tangan kananku menyeka keringat yang menetes.

“hahaha jangan sedih dong, lagian aku gak bermaksud sembunyi kok. Aku Cuma mau istirahat sebentar” Zahra menjelaskan sambil melempar-lembar kerikil kecil ke bawah bukit.

“Kok gak ngajakin aku?” aku berjalan sedikit dan berdiri tepat disampingnya.

“ya aku sebenarnya emang mau manggil kamu. Tapi aku udah sebel deluan gara-gara kamunya ninggalin aku terlalu jauh. Mau ngejar juga aku udah capek banget. Lagian kamu sih pake acara jalan sendiri di depan! Nanti kalau aku hilang, baru deh di cariin” bibirnya sedikit manyun dan wajahnya memerah. Raut wajahnya terlihat sedikit kesal.

“Aduh gawat, ada yang ngambek nih!” aku mencubit pipi kanannya yang kotor, dia terdiam. Lalu aku menghapus beberapa pasir kecil yang masih tersisa di sana. Zahra lalu tertunduk malu.

Ku palingkan wajahku ke arah langit-langit yang masih memancarkan efek tyndal. Dari atas sini kita bahkan bisa melihat sebuah danau alami dan laut bebas yang hanya dibatasi oleh beberapa gunung yang cukup tinggi dan besar.

Warna keemasan langit yang sangat luas bahkan terpancarkan pada genangan air berwarna hijau kebiru-biruan. Wajah-wajah gunung di situ juga ikut tercermin pada air danau yang jelas dari atas sini.

Aku lalu merebahkan badanku dan menutup mata untuk beberapa saat. Aku kembali membuka mata kemudian, menoleh  ke arah samping dimana seharusnya tempatmu berada. Aku melihat pakaian yang kukenakan ternyata sudah berbeda. Aku membuang wajah ke arah belakang dan ternyata pohon-pohonnya sudah banyak ditebang. Aku kembali melihat ke depan dan menghembuskan napas cukup panjang, sedikit lega. Danau, gunung, laut bebas, langit, dan senja yang dulu kita lihat masih sama. Aku tersenyum. Dengan mudahnya senyuman itu tergoreskan dan menarik kedua sisi bibirku membentuk huruf U.
      
       Senyuman itu menyadarkanku dari lamunan panjang tentang kisah masa lalu kita tadi, di tempat ini. Kita tidak mungkin lagi memakai seragam putih abu-abu, karena telah kita tinggalkan sejak lima tahun yang lalu. Namun senyumanmu tidak akan mungkin terlupa dari memoriku. Setiap kisah yang terjadi memang tidak mungkin terulang. Namun biarlah semua itu aku simpan sendiri, biarkan tempat ini menjadi saksi.

Senja yang membawa setiap memori kini akan segera pulang kembali. Dia tak ingin lagi menampakkan diri untuk hari ini karena waktunya telah selesai. Seperti waktu kita yang juga telah habis di sini.

Tenang namun pasti, langit berubah menjadi ungu dan akhirnya menghitam. Aku tau saatnya aku pulang sekarang. Saat aku menapakkan kaki kembali aku sadar bahwa masa lalu tak harus dibawa kedepan. Namun seperti bunga-bunga mimpi yang mampu datang kapan saja, terkadang memoriku mampu kembali memutar ulang kisah kita dengan begitu jelas.
      
      Sekarang kamu dan aku yang bahkan belum sempat menjadi ‘kita’, tidak lagi bersama. Karena setelah kita keluar dari SMA, masing-masing memiliki jalan yang berbeda.

Saat masa lalu hanya bisa di kenang, saat ini hanya mampu di lalui, maka di masa depan aku harap semua akan sesuai dengan keinginan. Mungkin saja cinta yang terpendam akan mampu teruraikan. Mungkin saja sela-sela jemariku yang hampa ini akan mampu terisikan dengan genggaman jemari sosok yang aku inginkan, yaitu kamu.

You Might Also Like

0 comments: