Sesederhana Aku Mencintaimu

10:35 PM Niluh Ayu Mutiara Ariyanti 1 Comments



“Untuk kamu yang tak pernah sempat menjadi kekasih hatiku, walaupun waktu terlihat selalu menjebak kita berdua untuk bersama. Tetapi nyatanya takdir memilih jalan cerita lainnya, agar KITA TIDAK BERSAMA”

Written By : Niluh Ayu Mutiara Ariyanti
Special Requested by : G.B.

Mengapa Tuhan menghadirkan cinta, menghadirkan sayang, serta bahagia disela-sela kebersamaan kita? Padahal Dia TIDAK MENAKDIRKAN KITA UNTUK BERSAMA? Apakah ini cara Tuhan untuk sekedar memainkan perasaan hamba-Nya? Apakah kamu juga merasakan hal yang sama? Di setiap moment yang tidak bisa dikatakan sekedar kebetulan itu, aku dan kamu ada di waktu yang sama. Segala kisah yang hadir dan terbentuk oleh kita sebagai dua remaja belia, tidak sulit untuk menggambarkan betapa kita bahagia saat waktu melesat maju menemani setiap senda gurau dan cerita yang tercipta berdua, hanya berdua.
Aku bahkan masih mengingat dengan jelas setiap detail kejadian yang berlalu. Aku masih terbayang wajah lugumu saat putih abu-abu masih menjadi seragam kebanggan dan kebesaran kita dulu. Semua kisah yang sudah terlewatkan, dimakan waktu, berlalu bersama dengan kelulusan, meninggalkan segala cerita yang pernah kita rangkai dahulu.
Bidadariku yang tersayang, salahkah jika cinta ini tumbuh terlalu dalam? Cinta ini bukan hadir dari pertemuan sesaat, bukan cinta karena pandangan pertama dan kedua. Cinta ini, seperti cinta suci lainnya hadir karena terbiasa. Ya, aku terbiasa bertemu denganmu. Aku terbiasa terjebak dalam lingkaran waktu yang sama dengan dirimu. Aku terbiasa melihat wajah cantikmu. Wajah yang selalu mampu menghanyutkan setiap pandangan pria manapun. Bahkan aku sudah mengangumimu sejak pertama kali kita bertemu.
***
Hari itu, entah mengapa aku akhirnya memilih mendaftar ke SMA yang sebenarnya benar-benar diluar dari rencanaku. Tak ada niatan hati memilih SMA ini, tetapi bujuk rayu orangtua serta sahabat akhirnya menguatkanku menuju kesana. Sekedar mendaftar saja mungkin tidak ada salahnya dicoba, aku membatin.
Siang itu panas, keringat mengucur deras memeluk pakaian kebanggaan yang sedikit lagi harus kulepaskan, pakaian SMP.
“Kamu mau ikut mama ambil formulir ke dalam?” Bidadari yang kupanggil mama nampak menunggu jawabanku. Tangannya menenteng tas hitam ala wanita karir.
“Di sini saja ma” Mataku lalu menyebar mencari tempat untuk segera melepas lelah, mencari bangku.
Tepat didepanku, tidak jauh dari ruang pengambilan formulir itu, aku terpaku. Tidak, aku bukan terpaku akibat kegirangan yang amat sangat setelah melihat kursi panjang berwarna cokelat yang memanggilku untuk menuju kesana. Aku terpaku saat melihat bidadari lain yang sedang duduk sembari melingkarkan headset putih yang dipakai berdua. Aku terpanah pada pandang pertama saat melihatmu. Kamu yang saat itu sedikit lebih gemuk tetapi tetap terlihat chubby dan cantik. Aku lalu duduk di kursi yang sama denganmu.
Kamu sedang asik terhanyut dalam lantunan melody dari music Korea seperti kebiasaan remaja wanita lainnya. Walaupun aku sedikit menjerit membatin kenapa harus pecinta boyband Korea! Tetapi kecantikanmu mampu menepis semua jeritan yang tercipta di dalam sini, di dalam hati ini.
Hari itu aku sadar, sesuatu yang harus aku syukuri bahwa mendaftar ke sekolah ini bukan sepenuhnya merupakan kesalahan, karena ada kamu sebagai jawaban dari segala kerisauan.
Aku hanya bisa mengagumi sesosok bidadari cantik itu dalam diam. Tak ingin dicap sebagai ‘anak baru sok kenal’, kuurungkan niatku untuk menghampirimu dan mengatakan betapa cantiknya kamu. Pada akhirnya ketika Tuhan tak berkehendak dan situasi sepertinya tidak tepat, diam dan memendam adalah jalan keluar paling bijak yang bisa kulakukan.
Seharian wajahmu masih menari-nari membayangiku sepanjang hari. Bayanganmu dengan jelas mengisi setiap memori. Melihat kamu yang walau hanya sekilas saja sudah bisa menjadikan diri ini bahagia dalam lamunan hingga senja bergantung di cakrawala. Bahkan lebih dari itu, senyum ini masih merekah hingga malam menutup lembaran hari yang akan berganti.
***
Dimana ada pendaftaran siswa baru, pasti ada saja saat dimana penyiksaan legal senior dibenarkan kepada kami__ MOS. Ajang yang sangat ditunggu-tunggu oleh para senior untuk membuktikan kejahatan, kekuatan, kekuasaan, mereka. Lalu para junior hanya menjadi bola yang dilempar kesana-kemari, robot yang disuruh ini dan itu, menjadi strata terendah dalam kasta senioritas yang berjalan terseok-seok sambil mengangkat bendera putih dan berkata ‘senior, ampuni kami’.
Aku masih ingat betul bagaimana aku kesal dengan jamku yang mangkir dari tugas hariannya untuk berdering memisahkanku dari bunga mimpi.
Aku kesiangan! Tempat tidur, selimut, bantal, dan juga guling terlalu erat memeluk dan membelaiku semalaman. Tidakkah mereka tau bahwa hari ini aku harus ikut ‘acara penyiksaan’? aku harus MOS! Dan sekarang aku terlambat!
Seniorku rupanya sudah semangat menunggu didepan jalan. Membawa cambuk baja dan menunjukkan taring-taring keganasan mereka. Seperti tak tergambar kebaikan disana. Seperti ada nyala api yang berkobar-kobar dimata mereka. Entahlah seperti itu rasanya memandang senior saat sedang MOS. Apapun yang kau lakukan tak ada benarnya. Seperti dikatakan pada Pasal 1 bahwa senior tidak pernah salah, dan pada Pasal 2 yaitu ketika senior salah maka kembali tinjau Pasal 1.
Aku berhenti di depan pertigaan jalan yang jauhnya sekitar 200m dari gerbang sekolah. Berlari sekencang mungkin sambil diteriaki oleh para senior disepanjang jalan.
Langit masih malu-malu bersembunyi dibalik awan. Seharusnya pagi-pagi seperti ini hawa dingin menusuk hingga ke dalam tulang. Tetapi metabolism dalam tubuh rupanya sudah berjalan melampaui yang biasa dilakuakan hingga perspirasi memproduksi fluida dari kelenjar keringat pada kulit. Bajuku basah seperti habis diguyur hujan.
Seorang senior lalu menyuruhku berhenti di bawah pohon yang mereka beri nama ‘Pohon Cinta’. Entah kenapa pohon itu bisa diberi nama Pocin, padahal disekitarnya berisi tumpukan sampah dan botol-botol plastik yang berceceran, lebih mirip dengan pohon penjaga tempat sampah dan sama sekali jauh dari nuansa cinta. Apa mungkin karena pohonnya bisa jatuh cinta? Pikiranku mulai ngawur dan bertanya-tanya pada rumput yang bergoyang ditiup angin pagi. Namun seketika pikiran itu tertepiskan oleh perasaan lega. Kupikir bahwa ini saatnya aku untuk sedikit beristirahat di bawah pohon Pocin itu. Ternyata pikiranku salah! Seratus persen salah! Justru penyiksaan baru sedang menungguku didepan mata.
Push up, seperti hukuman legal yang dibenarkan untuk menghukum sekaligus memberikan pelajaran bagi setiap pelanggar aturan. Entah berapa banyak push up yang harus aku lakukan hari itu. Rasanya tubuh ini sudah tidak kuat lagi. Ya Tuhan, selesaikanlah sesegera mungkin. Aku menjerit-jerit dalam hati, tetapi hanya terlihat bungkam seribu bahasa dan tidak berani melakukan hal yang bertentangan dengan penguasaku yang otoriter__ senior.
Kakiku lalu kembali berlari, berlari yang entah sudah berapa langkah tak pasti. Kedepan dan terus saja kedepan, pikirku. Aku lalu berhenti di sebuah lapangan basket, berkumpul dengan rekan-rekan senasib sepenanggungan lainnya. Kelompok akhirnya dibagikan dan aku mendapatkan kelompok 4 bersama Rio, salah satu yang menjadi mantanmu. Masih ingat?
Kembali lagi sosokmu memberiku semangat, bahwa MOS tidak sepenuhnya buruk karena masih ada kamu. Kamu yang dengan lugunya menurut ketika di ajak kesana kemari untuk menyanyikan lagu kebangsaanmu, lagu Korea. Aku memandangmu lekat, melihat kamu yang sedang menyanyi sambil tertunduk memandang tanah. Aku tertawa dan merasa bahagia. Aku semakin tertarik. Seperti ada energi-energi positif yang merasuki tubuhku, segala kelelahan rasanya musnah seketika.
***
Hari kedua menandakan bahwa akan ada korban-korban lain yang akan dikerjai oleh para senior jahil. Kita lalu dikumpulkan di ruang matematika 2. Kamu tentu masih mengingatnya, bukan? Seorang sosok berwibawa, pemimpin semua masa masuk ke dalam ruangan kita. Tanda-tanda penyiksaan lainnya mulai terasa. Entahlah, aku hanya bisa berpasrah semoga tidak terjadi hal yang aneh-aneh dan diluar logika.
“Ada yang bisa main rubik?” Terlihat tangan kanan ketua osis mengangkat sebuah kubus ukuran 4x4 beraneka warna dan masih berhamburan dan belum teratur.
Aku mengalihkan pandang ke sekitar, semua dengan pandangan tercengang dan plonga-plongo. Beberapa menit waktu berlalu dan masih tidak ada yang menjawab tawaran sang ketua osis tadi. Aku langsung refleks mengangkat tangan. Aku menyanggupinya, seketika semua pandang berhamburan kearahku. Aku lalu tampil dan kemudian disuruh mengambil posisi di pojok belakang sesuai dengan perintah seniorku tadi untuk bermain rubik bersamanya.
Seperti kebiasaan di MOS, semua siswa baru disuruh untuk memperkenalkan diri. Salah satu moment yang paling aku ingat yaitu tentang kamu. Di situ kamu berjalan maju dan memperkenalkan dirimu. Kembali lagi konser minimu dilaksanakan dengan aku dan rekan lainnya sebagai para penonton. Kamu kembali berdendang dengan lagu andalanmu, Mr. Simple dari Suju sambil terus melihat ke bawah. Mungkin jika kamu artist, maka aku akan menjadi fans fanatic yang tidak bosan-bosan mendengarkanmu bernyanyi, karena aku suka, aku suka setiap hal sederhana dari dirimu.
Saat tiba giliranmu untuk menyampaikan cita-cita, kamu dengan sederhananya berkata “aku ingin jadi pasien”. Mungkin karena sudah terlalu banyak yang berkata ingin jadi dokter. Entahlah aku hanya berspekulasi saja. Itu semua hanya kamu yang tau alasan pastinya.
***
Seperti biasanya, Apel pagi telah selesai dilaksanakan. Aku masih bergumam dalam hati ketika melihat segerombolan orang menuju ke arah papan pengumuman. Untuk memuaskan rasa ingin tahuku, aku pun melangkahkan kaki kesana. Ternyata kelas matrikulasi telah dibagikan. Tangan telunjukku menyusuri satu per satu nama, dan itu dia aku menemukan di kelas apa aku berada. Kembali kutelusuri satu demi satu nama yang terpampang disana. Sedikit kecewa memang, karena tidak kudapati namamu berada di kelas yang sama denganku. Mungkin memang gak jodoh sekelas, aku membatin, berusaha memotivasi diri sendiri.
Hari berlalu seperti siput yang sedang berjalan, sangat lamban. Aku lebih banyak diam, tidak berbicara dengan siapapun. Beginilah sifat asliku jika belum memiliki teman dekat atu tidak mengenal seorangpun di ruang lingkupku saat itu.
Beberapa bulan kemudian, aku mulai bisa bernapas lega ketika kelas yang baru mulai dibagikan. Di situ, kamu dan aku mendapatkan kelas yang sama yaitu X-1. Senyum merekah membentuk lekukan dipipiku. Entah apakah kamu juga merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang aku rasa saat itu. Aku lebih merasa nyaman pada kelas yang baru ini dan mendapatkan sahabat baru.
Kembali lagi ke awal, betapa aku mengagumimu sejak pertama kali kita bertemu. Kita lalu ‘dijebak’ oleh tempat dan waktu sehingga menjadikan kita lebih sering bertemu dan menjadi semakin dekat.  Sesederhana itu kan? Tetapi pertemuan yang seharusnya menjadikan aku bahagia di dalamnya nyatanya tidak selalu seperti yang diharapkan. Simple complication.
Tentu saja aku tidak buta. Tentu saja tidak perlu banyak – banyak lagi berpikir untuk menyadarkanku bahwa bidadari surga sepertimu pasti banyak yang suka. Makhluk cantik bernama perempuan adalah sesosok makhluk sempurna lainnya yang diciptakan Tuhan, tanpa ada kesalahan, tanpa perlu penambahan apapun untuk menjadikan mereka indah, dan kamu adalah salah satunya. Pantas saja jika kemudian seseorang yang disebut sebagai senior menyukaimu.
“Bagaimana pendapatmu tentang aku dan kak Richard?” Kamu bertanya penuh keingintahuan. Tergambar jelas binar-binar cahaya pada kedua bola mata mungil itu. Entah pertanyaan ini hanya untuk mengujiku atau kamu benar-benar ingin tau tentang chemistry diantara kalian berdua dimataku.
Kamu tidak tau ya? Rasanya itu sakit sekali. Seorang senior yang menyukai orang yang juga kamu suka, tetapi kamu hanya bisa diam! Kamu kalah, jelas-jelas kalah! Mirisnya lagi kamu gak bisa apa-apa. Seperti berada pada tingkatan terendah, seorang junior dalam sistem senioritas. Jadi mau apa lagi? Tidak ada daya dan kuasa apapun untuk menolak. Sama halnya dengan kita yang hanya bisa menerima takdir tanpa bisa melawan sedikitpun.
Kamu masih disitu, masih menunggu jawaban atas pertanyaanmu barusan. Aku sadar bahwa kali ini aku tidak boleh egois dan mementingkan perasaanku sendiri.
“Ya udah, kasih kesempatan aja dulu” Aku berusaha memasang senyuman termanis yang bisa kuberi. Tetapi terlihat kaku.
Sebisa mungkin aku tahan segala luapan perasaan di dada. Sebisa mungkin kata-kata jangan! Gak usah pacaran sama kakak itu! Ada aku yang lebih sayang kamu disini! yang udah sampai diujung lidah dan menunggu untuk dikeluarkan harus mampu kucegah. Rasa sakit itu benar-benar menyerangku dengan teramat sangat. Sesak didada kini menyelimuti segala ruang. Pikiranku seketika penat karena satu lagi white lie harus aku ucapkan yang sebenarnya sangat bertolak belakang dengan keinginanku.
Pada akhirnya aku hanya bisa berpura-pura. Maafkan aku atas kepalsuan ini. Berwajahkan tegar dan terlihat baik-baik saja. Mungkin lagu Aku Rapopo sedikit bisa menggambarkan perasaanku, it’s ok wae aku rapopo. Asalkan kamu bisa bahagia dan tidak disakiti oleh dia.
Bagi mereka yang hanya bisa memendam perasaan, mereka hanya berharap kebahagiaan untuk orang yang disayang. Kebanyakan dari mereka tidak mempedulikan perasaannya sendiri. Mungkin ini terlihat konyol. Mereka tersenyum disaat hatinya menangis. Mereka berusaha tegar ketika perasaannya bagai dihujam beribu pisau belati. Mereka merasakan sakit yang sama ketika orang yang disayang sedang ditimpa masalah. Cinta mereka itu tulus, tanpa embel-embel apapun. Tanpa meminta untuk dicintai kembali. Mereka menyayangi seseorang dengan sebenar-benarnya tetapi hal inilah yang menjadikan mereka lemah. Menjadikan mereka takut untuk mengutarakan. Pada akhirnya memendam menjadi cara terbaik dan mencintai dalam diam menjadi jalan keluar terakhir.
Aku sebenarnya masih sangat menyesal dengan apa yang kuucapkan waktu itu. Sayangnya kamu menuruti kata-kataku dan akhirnya kalian berpacaran. Apa lagi yang bisa kulakukan sekarang? Aku hanya bisa menelan segala kepahitan yang terjadi secara terang-terangan dimataku. Sudahlah, ikhlaskan saja pikirku.
Hubungan kalian tak berlangsung lama. Hanya sekitar dua hingga tiga bulan saja, seumur jagung. Pada detik-detik terakhir sebelum hubungan itu kandas, kamu masih sering bercerita tentang dia.
Aku masih ingat raut wajahmu yang kesal, kau kepalkan kedua tangan dan matamu terlihat lesu. Sepertinya otakmu telah nanar memikirkan betapa jahatnya pacarmu yang sering jalan dengan cewek lain. Wanita mana yang rela kekasihnya berdua-duaan dengan wanita lain? Aku paham, aku paham betapa kecewanya kamu saat itu.
Sebenarnya setan sudah menggodaku. Iblis sudah masuk ke dalam pikiranku. Saat itu aku memiliki kekuatan untuk memberi masukan yang dapat menghancurkan semuanya, seketika, begitu saja. Tetapi tidak, aku tidak ingin bahagia diatas penderitaan orang lain. Apalagi jika orang lain itu adalah kamu, bidadari hatiku, kesayanganku. Tentu aku tidak akan setega itu. Maka kembali lagi aku mengesampingkan semua keinginanku untuk bersamamu. Jika kita akan bersama maka bukan seperti ini caranya.
Aku berusaha memberikan masukan positif, aku berusaha mengatakan hal yang seharusnya dikatakan sebagai seorang sahabat yang baik.
***
Langit Buper terlihat hitam pekat. Sementara bintang-bintang enggan, masih ada sedikit gumpalan awan berwarna abu-abu tua yang bergantungan disana. Namun sedikit semburat bulan purnama masih bisa terlihat diantara celah-celah langit malam.
Saat itu sedang bimbel malam dan aku tidak terlalu beminat untuk belajar. Aku berjalan mengitari koridor, melihatmu menuju kearahku dari kejauhan. Kita lalu berbicara berdua. Kamu lalu bercerita, seperti biasa.
Malam itu kamu terlihat sangat emosional, hingga akhirnya kamu menangis. Entahlah aku merasakan hal yang tidak biasa. Saat kamu menangis dan memelukku, aku seperti merasa menjadi lelaki yang lebih kuat dan bahagia. This is the way I felt so strong. Tetapi disaat bersamaan akupun merasa tidak senang ketika melihatmu bersedih seperti ini.
Kalian sudah putus, kamu dan dia sudah putus. Itu kalimat yang sangat jelas dan menjadi alasan air matamu waktu itu. Aku paham sekarang. Sekeras apapun kita mencoba, pada akhirnya ketika ketidakcocokan itu sudah tidak bisa lagi diterima satu dengan yang lainnya maka mengakhiri sebuah hubungan tetap harus dilakukan.
Jika sebelum Ujian Nasional saja butuh minggu tenang, maka aku berpikir setelah putuspun kamu juga butuh ketenangan untuk menenangkan hatimu terlebih dahulu. Sehingga niatan untuk mengutarakan perasaan ku urungkan.
Tetapi memang takdir selalu saja tidak bisa diprediksi manusia. Tidak berapa lama, Rio teman sekelas kita sudah menyatakan perasaannya kepadamu. Kembali lagi topeng lama harus aku kenakan; tetap ternsenyum didepan kamu.
Aku benar-benar gak bisa apa-apa, yang penting bisa melihat kamu tersenyum dan lesung pipi itu tergambarkan dengan manis disana saja sudah bisa membuat aku bahagia. Asalkan Rio tidak membuat kamu menangis dan mampu menjaga dirimu dengan baik, maka aku berusaha ikhlas. Gak bodoh kan alasanku selama ini? Aku tidak ingin egois, tidak ingin memaksakan pilihanmu.
***
Malam itu masih sama, masih gelap dan dingin. Seperti rutinitas lainnya, rapat angkatanpun diadakan di salah satu ruang kelas. Di dalam ruangan yang cukup banyak penghuninya itu, mataku merajalela mencari dimana kamu berada. Sayangnya nihil yang aku dapatkan, kamu tidak ada dimanapun. Aku lalu menghela napas, masih berharap kamu segera hadir karena rasa rindu ini sudah terlebih dulu hadir menguasai batin.
Dari balik pintu kayu berwarna cokelat tua itu, seseorang menapakkan kakinya pelan. Tubuhnya ramping berbalut celana panjang jeans dan mengenakan sweater hitam yang sedikit digulungkan setengah lengan. Aku mampu mengenali sosok dengan kacamata berframe hitam tebal, berambut panjang yang diikatkan satu seperti ekor kuda, dan poni yang dijepit ke atas alakadarnya, namun masih terlihat cantik dalam segala kesederhanaannya. Itu kamu, akhirnya kamu datang juga. Senyum mengembang pada pipiku.
Kamu lalu menyebarkan pandang, dan pandangan itu berakhir pada dua orang yang sedang duduk bersama didepanku. Mereka adalah Rio dan Gea. Seketika kamu langsung keluar, terlihat kesal. Kamu lalu memanggilku untuk turut keluar.
Aku berjalan ke arahmu yang nampak jelas sedang menungguku. Kamu lalu menangis, menyandarkan kepalamu tepat didadaku. Aku yakin, kamu pasti mendengar jantungku berpacu dengan kuat. Berusaha menahan agar tidak melompat, aku gugup tetapi juga senang dan udara dingin kini menjadi hangat terasa. Tangan kananku memegang kacamata itu. Kamu masih tenggelam dalam tangismu, dan aku masih setia mendengar segala keluh kesahmu.
Sering terbesit dalam hati, merasa semua yang terjadi tidak adil. Kenapa seolah-olah aku ini tidak pernah ada? Kenapa sih kamu gak pernah liat aku? Padahal disaat kamu sedih dan sakit hati seperti ini, aku selalu ada buat kamu! Tetapi yang berhasil mendapatkan kamu justru mereka, mereka yang pada akhirnya justru menyakitimu!
Setelah kamu merasa sedikit lega, aku lalu membujuk kamu untuk berbicara baik-baik dulu dengan Rio. Apa kamu masih mengingatnya? Dan akhirnya kalian kembali baikan. Setiap kali kalian ada masalah, aku selalu mencoba yang terbaik agar itu bisa terselesaikan diantara kalian. Cukup sakit memang, aku mengembalikan hubungan kalian dan kembali menyakiti perasaanku sendiri. Aku selalu berusaha untuk mendukung kalian, betapapun sesungguhnya itu tidak nyaman bagiku.
***
Libur kenaikan kelas telah tiba. Saat yang benar-benar tepat untuk menghilangkan segala kepenatan dari hiruk pikuk dunia persekolahan yang sangat menguras otak, tenaga, hingga perasaan. Dunia yang keras secara lahiriah dan batiniah. Aku, kamu, dan kekasihmu memutuskan untuk berlibur ke Bandung dan Jakarta.
Taukah kamu kalau hatiku semakin sakit saja ketika melihat kalian jalan sama-sama, bermesraan berdua. Itulah alasan terbesar mengapa aku selalu memilih untuk jalan dibelakang kalian. Alasan lainnya karena aku masih sedikit bisa mencuri pandang hanya untuk sekedar melihat kamu tersenyum, walaupun aku tau kalau senyum itu untuk dia dan bukan untukku. Itu sudah cukup, setidaknya sedikit perih ini bisa terobati.
Setelah kita pulang liburan, beberapa bulan kemudian kamu dan Rio memutuskan untuk mengakhiri hubungan kalian. Entahlah, aku tidak tau alasan pastinya. Aku hanya berandai-andai, mungkin saja karena frekuensi keributan yang semakin meningkat hingga kamu dan dia sudah tidak tahan dan memutuskan untuk mengakhiri semua. Tetapi mungkin karena memang bukan dia orangnya. Bukan dia pangeran yang kamu tunggu-tunggu selama ini, yang bisa mengerti kamu seperti yang kau mau.
Aku sadar kalau ini bisa jadi kesempatan baik untuk mengutarakan semua yang terpendam terlalu lama. Betapa banyakpun rintangan yang harus aku hadapi, seperti banyak alumni hingga adik kelas yang mendekati kamu, berusaha aku lawan.
Perhatian demi perhatian lebih berusaha aku berikan. Sudah menjadi rahasia umum kalau wanita menyukai segala bentuk perhatian, sekecil apapun itu. Aku juga coba membentuk postur badan, semoga kamu menyukai usaha yang aku lakukan.
***
Seperti biasanya, kita berbincang-bincang ringan berdua. Aku sudah menetapkan hati, meneguhkan segala keinginan untuk mengatakan padamu tentang semua yang sudah tersimpan terlalu dalam.
Pada awalnya kita masih terhanyut dalam suasana ngobrol hal-hal yang tidak terlalu penting. Kemudian sampailah pada suatu titik ketika kamu merasa seperti ‘inilah saatnya’.
“Sebenarnya, ada yang mau aku omongin sama kamu.” Akhirnya aku mencoba memulai semuanya, memulai untuk jujur. “Aku… udah suka kamu sejak dari awal kita masuk SMA.” Aku lalu memandangi wajahmu lekat. Melihat angin memainkan anakan rambutmu yang tergerai panjang dan hitam.
Kamu tiba-tiba terdiam. Hening menggantung diantara kita. Kamu lalu tertunduk, kedua bola mata itu melihat kebawah. Kamu lalu mengangkat kepala, wajahmu memerah, “Kenapa gak dari dulu aja sih!” Matamu lalu berkaca-kaca.
Sesal menyelimutiku, mengikat begitu kuat hingga rasanya sulit sekali untuk bergerak dan melepaskan diri dari cengkramannya. Aku tau ini sulit. Tetapi aku coba menceritakan semua dari awal, sebisaku agar kamu paham. Agar kamu tau rasanya menjadi aku, yang memendam semua rasa terlalu dalam, terlalu lama. Menjadi seperti aku yang mencoba tegar disaat satu per satu orang lain bergantian menjadi kekasihmu, yang seharusnya, itu aku! Tetapi aku hanya bisa diam, selama ini aku hanya bisa memendam sendirian. Karena tidak ada tempatku pulang untuk menceritakan segala kesakitan ini. Aku hanya bisa menerima keadaanku sebagai tempatmu pulang kapanpun kamu butuh, tetapi sedikitpun tidak bisa mendapatkan kesempatan untuk singgah dihatimu, untuk menjadi kekasihmu, seperti mereka.
“Iya, tapi harusnya kamu itu bilang saja semua. Kalau kamu hanya diam seperti itu kan aku jadi gak tau. Kita sekarang udah mau lulus! Kenapa kamu harus seterlambat ini sih!” Kamu lalu marah-marah. Maaf karena sudah membuatmu menjadi kesal.
Benar saja kata Mario Teguh dalam Quotenya ‘Wanita itu tidak pernah salah, kalau mereka salah maka prialah sebabnya’.  Mungkin selama ini memang aku yang salah. Tetapi mau diapa, nasi sudah menjadi bubur. Semua sudah terlanjur.  
Satu hal yang membuatku masih bisa bersyukur dan bernapas lega, walaupun terkadang kita sedikit saling diam saat bertemu, tetapi ada kalanya dimana kita menjadi lebih dekat dari biasanya.
Walaupun dulu kita sering terjebak dalam ruang dan waktu yang sama dan mengharuskan interaksi kita terjadi dengan cara yang indah. Namun pada akhirnya bukan aku, melainkan mereka yang mendapatkan posisi berada disampingmu dan menjadi penjaga hatimu.
Lalu satu per satu gugur seiring waktu berlalu. Menyisakan luka pada setiap cerita yang kau bagikan bersama. Tetapi beginilah kisah kita. Dengan kamu dan aku yang terlibat didalamnya. Bukan tentang mereka yang hanya datang sebagai pemeran pembantu saja. Walaupun pada akhirnya kita tidak pernah ditakdirkan untuk bersama, tetapi setiap momen indah yang terjadi bersamamu sudah membuatku merasa cukup daripada sekedar bahagia.
Untuk kamu yang tidak pernah sempat menjadi kekasih hatiku, aku masih menyayangimu, masih mengagumimu sejak pertama kali kita bertemu di bangku panjang sekolah dulu. Aku masih dengan senang hati menerimamu untuk pulang dari segala permasalahan yang kau hadapi. Aku masih disini untuk kamu, dengan segala perasaan yang kian lama kian memburu. Aku masih sama seperti yang dulu, aku masih mencintaimu. Walau mencintai tak berarti harus selalu memiliki, tak selamanya harus bersama. Seperti daun yang tak pernah marah ketika pohon membiarkannya jatuh ke tanah, sesederhana itu aku mencintaimu.

1 comments:

Sebuah Inspirasi dari Sebatang Rokok

5:31 PM Niluh Ayu Mutiara Ariyanti 0 Comments

Akhirnya bisa posting cerpen lagi. Ini pertama kalinya aku nulis cerpen yang rada berbau kedokteran. hihi sambil nulis, sambil belajar. gak ada salahnya kan? Well, satu hal yang membuat aku seneng karena ternyata BPN ISMKI (Badan Pers Nasioanl Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia) mempublish cerpen ini pada Majalah SPEKTRUM BPN ISMKI Edisi Juni 2014 sebagai salah satu isi rubrik mereka. Gak nyangka sih tapi seneng dan bersyukur. Berarti karyaku dianggap "layak" dibaca anak-anak FK di Indonesia :') alhamdulillah. Oke, gak usah lama-lama lagi ya. Pengunjung setia My STory in Teenage's Moment. Selamat membaca :) 
______________________________________________________________________________________________________ 
Sebuah Inspirasi dari Sebatang Rokok   
Oleh : Niluh Ayu Mutiara Ariyanti

 Jalan raya ibu kota terlihat padat. Panas matahari siang itu mampu menambah keresahan hati setiap pengguna jalan. Keringat mengucur deras, membentuk anakan sungai kecil mengikuti lekukan pipi gadis berambut panjang tergerai. Satu-satunya hal yang dipikirkan saat ini hanyalah bagaimana caranya ia bisa lekas pulang untuk bergelut dengan segala macam laporan praktikum histologi yang diberikan dosen tadi pagi. Jalanan semakin ramai dipadati kumpulan manusia. Masing-masing sedang terlena dengan variasi kesibukan yang berbeda. 
     Bus kota yang sudah ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dengan langkah seribu, Falla menapakkan kakinya di atas anakan tangga untuk memasuki kaleng besar bermesin itu. Rasa tidak nyaman kembali menguasai batin. Falla tahu kalau kulitnya memang sedang dalam kondisi terbakar, ini ulah sang raja siang yang terlalu bersemangat dalam menjalankan tugas. 
     Tetapi tidak hanya itu, paru-parunya juga sedang merengek-rengek tidak nyaman. Sekarang apalagi? Falla membatin kesal dalam diam. Bukan hanya karena kadar O2 yang mulai menipis akibat kerumunan manusia yang berebutan melakukan proses ventilasi paru-paru sehingga menghasilkan CO2 menjadi partikel-partikel kecil yang berhamburan, memenuhi ruang gerak yang sempit menjepit. 
     Keadaan memburuk. Dada Falla menjadi lebih sesak dengan tambahan asap rokok hasil hembusan arogan pria bermata sipit yang sedang duduk tepat di depannya. Pria itu dengan santai menikmati sepuntung rokok. Sesekali dia menjepit cerutu itu dengan tangan kanannya sembari setengah menengadahkan kepala untuk menghembuskan asapnya. Gas putih yang mengandung lebih dari 60 jenis karsinogen itu mengepul jelas, menari-nari di udara beberapa saat sebelum akhirnya hilang setelah proses inhalasi oleh orang sekitar yang bernapas. 
     Lelaki bermata sipit itu tidak tahu, atau mungkin lebih tepatnya tidak peduli. Pria berusia sekitar 20an tahun itu tidak mengerti, betapa tersiksanya Falla dan penumpang lainnya yang terpaksa harus “ikhlas” ikut merasakan dampak dari kesenangan semunya. Pria itu masih bungkam dan memilih apatis terhadap berbagai teguran yang ada. Diam-diam sebenarnya Falla sempat memandang lekat pria berkulit sawo matang itu. Falla memang belum pernah bertemu langsung, tetapi entah di suatu tempat sepertinya dia pernah melihat sosoknya. Falla yakin. Tetapi di mana? Dan bagaimana bisa? Memikirkan tentang pria itu membuat perasaan sebal merasuki tubuhnya. Berawal dari kardiovaskular, dipompakan dengan tegas dan terkontaminasi dalam darah yang mengalir. Untung saja perasaan itu bisa segera diredam sehingga keadaan homeostasis masih dapat dipertahankan. 
     Ah tentu saja orang lain juga merasa terusik dengan tingkah laku perokok barusan. Memang dia pikir dia siapa? Seharusnya dia tidak seenaknya melakukan hobby buruk itu, setidaknya bukan di saat suhu ruangan sedang meningkat dan siap untuk mendidihkan setiap darah yang mengalir. Jika ingin menyiksa orang lain, maka dia sudah memilih momen dan cara yang benar-benar ‘tepat’. Falla sebenarnya ingin mengeluarkan segala argumen dan keluh kesahnya. Tetapi pikirannya sudah terlanjur penat. Terlalu banyak hal yang berputar-putar di sana. Memikirkan satu masalah lagi hanya akan menambah beban otak untuk bekerja. Falla tergotong lelah dalam beberapa langkah menuju rumah. Entah mengapa rasanya tas punggung yang bertengger sedari tadi terasa semakin berat dipikul. Namun lega sedikit bisa merengkuh di dada. Rumah sederhana bercat putih telah menyambut kepulangannya dengan senyum bahagia. 
                                                               *** 
      Falla kini sudah menginjak tahun terakhir di bangku kuliah, yang artinya skripsi sedang menunggu dengan tatapan tajam di depan jalan menuju sebuah gerbang yang disebut kelulusan. Tentu saja dia tidak sabar untuk menambahkan gelar S.Ked pada bagian akhir namanya. Membayangkan hal itu membuat dia tersenyum kecil malu-malu. Falla masih di sana, menggenggam segelas cokelat panas yang baru saja diseduh pelan dan mengalir hangat melewati esofagus. Sementara jemari kanannya bermain-main di atas meja, mengetuk pelan papan kayu berwarna putih tulang dan membentuk suatu irama. Dahi gadis berkacamata itu berkerut, terlihat sedang memikirkan sesuatu. 
    Entah mengapa tiba-tiba seberkas bayangan datang. Bayangan itu seketika berhasil mengalihkan konsentrasinya, menjadikan Falla kembali terbuai dalam dunia khayal tentang kenangan bersama sahabatnya Dion yang baru saja berpulang akibat kanker ganas komplikasi pneumonia akut. Mereka adalah teman masa kecil, selalu sekelas dan sama-sama penggemar gorengan. Entah takdir atau hanya kebetulan. Tapi Falla selalu senang. Kecuali pada saat SMP, ketika pergaulan anak muda menjadi sangat sulit untuk dikontrol. Dion sudah salah memilih teman lelaki yang berpikir bahwa merokok dapat meningkatkan kejantanan. Awalnya Dion hanya coba-coba tetapi zat addictive itu ternyata terlalu kuat untuk ditolak. Sekeras apapun larangan dan hukuman dari orangtua. Sekeras apapun Falla menentang dan tidak memperbolehkan. Dion akhirnya menjadi seorang perokok aktif. 
     Sepuluh tahun berakhir ketika akhirnya dia divonis mengidap kanker paru-paru jenis Small Cell Lung Cancer (SCLC) stadium ekstensif. Kanker sudah terlanjur berkembang mengikuti kerusakan genetika pada DNA. Terbesit sesal yang mendalam. Segala upaya coba ditempuh dengan harapan dia bisa sembuh. Namun sehebat apapun usaha dan niatnya untuk berhenti dari kebiasaan buruk itu, hanya nihil hasil yang diterima. Segala upaya pengobatan seperti kemoterapi dan radioterapi telah dilakukan dengan menggelontorkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terlanjur. Sel-sel kanker sudah tidak mau kompromi lagi, sesuka hati membelah diri secara abnormal. Bahkan proses metastasis menyebabkan penyebaran ke jaringan terdekat dari paru-paru Dion. Kanker paru Dion menjadi semakin ganas. Imunosupresi kini melengkapi semuanya. Tubuhnya sudah tidak kuat lagi hingga hembusan napas terakhir menjadi satu-satunya jalan keluar untuk mengakhiri sakit yang diderita. 
     Falla hanya bisa menelan segala kepahitan yang terjadi, menerima segalanya dengan ikhlas. Memang apalagi yang dapat dilakukannya sebagai manusia biasa? Dia hanya mampu mengikuti skenario sang Pencipta.Terbesit luka yang dalam. Luka yang sudah lama dipendam dalam diam. Luka yang saat ini kembali menganga lebar dan belum terobati. Luka yang ada di dalam hati. Kenyataannya tidak ada makhluk ciptaan Tuhan yang mampu merubah apalagi melawan takdir. Tetesan bulir-bulir air hangat merengkuh pipi yang mulai memerah. Duka itu kini kembali. Rindu tak dapat dibendung lagi. Hatinya bagai diselimuti kelabu, dihantam hujan badai. Falla menangis meratapi kisah hidup yang sulit. Menangis dalam kesendirian, berbalut hampa yang mencekam. 
      Jam berputar berlawanan arah rotasi bumi. Segala luapan perasaan telah pergi. Lega kini menyelimuti hati, memeluk beberapa ruang kosong tak berpenghuni. Falla kini teringat kejadian dua tahun yang lalu saat seorang pria bermata sipit secara terang-terangan merokok di dalam bus dan tidak menghiraukan orang lain. Falla baru sadar, ternyata pria itu sekilas mirip dengan Dion. Bukan saja karena kebiasaan merokok yang buruk, tetapi juga perawakan yang tidak jauh beda. 
      Falla kini mendapat sebuah ide baru yang menurutnya bisa menjawab persoalan yang selalu mengekor akhir-akhir ini. Dia tahu tema apa yang akan dituliskan dalam skripsinya dan penelitian yang akan dilakukan. Tentu permasalahan tentang rokok akan menjadi topik utama, selain dihubungkan dengan manifestasi klinis lain. “Terima kasih Dion, kamulah inspirasiku” Terdengar hembusan napas yang dalam. 
      Dipandangnya langit-langit kamar dengan senyuman penuh makna. Seandainya ada takdir lain, misalnya Tuhan kembali mempertemukannya dengan pria bermata sipit yang ada di bus waktu itu. Ingin sekali Falla mewawancarainya, menanyakan riwayat merokok dan seperti apa keadaannya sekarang. Sudah sejauh mana nikotin dan zat-zat berbahaya lain melakukan tugasnya. Walaupun Falla berharap pria itu sudah meninggalkan kebiasaan buruknya dan kejadian yang dialami sahabatnya tidak berulang kembali. Falla benar-benar menginginkan lingkungan yang bebas dari asap rokok dan yang tersisa hanyalah perokok aktif yang sudah sadar, tanpa ikut-ikutan menjadikan orang sekitar menjadi perokok pasif. Seandainya bisa maka dia akan sangat bahagia.

0 comments: