The Story behind Circumcision

8:20 PM Niluh Ayu Mutiara Ariyanti 2 Comments

Sirkumsisi, atau yang lebih akrab dikenal dengan istilah sunat, bagi sebagian masyarakat awam, terutama lelaki masih menganggap sunat sebagai bagian dari hal menyeramkan yang harus mereka lalui. Bahkan ada yang menganggap inilah "pengorbanan" laki-laki layaknya pengorbanan wanita ketika melahirkan. Walaupun pribadi, menurut saya jelas gak bisa disamakan antara perjuangan ibu melahirkan dengan pria saat disirkum. Masing-masing pasti punya cerita bagaimana dulu mereka disunat. Dari beberapa pengalaman saya membantu proses sirkumsisi, banyak pelajaran dan cerita dibalik itu semua. Mulai dari yang menegangkan sampai yang menggelitik tawa. 

Sirkumsisi saya yang terakhir yaitu di kegiatan sunatan masal yang diadakan oleh Rohis suatu lembaga beserta salah satu NGO di Jayapura. Meskipun ini bukan kali pertama, tetap saja rasanya deg-degan dan excited karena bisa semakin mengasah skill yang dimiliki. Cukup kaget juga pas lihat di list pasien, ternyata jumlahnya sekitar 150an. Dengan pasien begitu banyak, dibandingkan jumlah dokter yang hanya 6 orang dan asisten yang tidak begitu banyak pasti akan sangat melelahkan. But I make sure that it's gonna be worth it, karena sebagai dokter maupun calon dokter, kami belajar dari pasien, dan itu berarti semakin banyak pasien maka semakin banyak ilmu pula yang bisa dipelajari. Ok let's get started!

Sebenarnya gak ada aturan sih mau mulai jadi asisten di dokter siapa dulu soalnya nanti bakal rolling juga, dan kebetulan setelah masuk ruang sirkum ada satu dokter yang kelihatannya lagi sibuk mempersiapkan alat-alat yang bakal dipakai. So I came to him and offering for help. Sepertinya dokternya ramah dan mau ngajarin banyak buat orang yang masih perlu banyak belajar seperti saya. 

Pukul 8 lewat sedikit, pasien pertama sudah datang. Anak kecil usia 8 tahun. Sudah membuka celana dan menggantinya dengan sarung. Kemudian diarahkan naik ke atas tempat tidur. Seperti biasa, wajah anak-anak kalau setiap mau di sirkum pasti tegang. Anak ini pun demikian. 
"Hallo dek, perkenalkan saya dokter *****, ini dokter Niluh, dan ini dokter Nanda, yang mau bantu sunatin adik. Adik sudah siap?" Tanya dokter dengan tatapan ramah ke arah pasien.
Wah setiap bantu sirkum ternyata walaupun still be the assistant tapi udah diperkenalkan sebagai dokter. I was glad and honoured to be called like that. Pasiennya kemudian hanya memandangi cemas ke arah mamanya, pandangan lazim karena sejauh pengalaman saya, tidak ada pasien anak yang pernah bilang "saya sudah siap dok! silahkan sunat saya sekarang juga!". Setelah menanyakan identitas pasien seperti nama dan umur, kami lalu memulai momen sakral bagi anak tersebut.

Pasien pertama, rasanya agak, uh, berat. Saya masih kikuk, takut salah, takut dianggap lelet, dan belum tau bagaimana karakter beliau. Ya, setidaknya kalau sudah agak lebih kenal kan enak gitu kerja bareng, tapi namanya juga baru pasien pertama, jadi ya gitu deh. It doesn't work smoothly like I ever thought. Setelah pasien pertama berlalu, beliau kemudian ngasih tau apa yang kurang tadi, di bagian mana yang harus diperbaiki, dan hal-hal penting lainnya. Ok, I got it! In order to improve my skills, I showed him how appreciate I am and paid full attention to what he said and trying to be better for the next patient. Kemudian pasien-pasien selanjutnya berjalan dengan lebih baik. 

Hal pertama yang saya dapatkan dari beliau adalah beliau orang yang bersih dan rapi. Memang idealnya semua dokter harus demikian, tetapi dokter-dokter sirkumsisi sebelumnya, rasanya dokter ini yang paling bersih kerjanya. 
Beliau sempat ngasih tau dengan lembut "Dek, kamu kalau sudah steril jangan pegang macam-macam ya"
"Eh, um, iya dok maaf, saya kira itu yang steril" Saat tanganku salah megang ampul lidocain yang harusnya gak boleh dipegang asisten steril. Dalem hati udah ngomong, "untung masih dapat dokter ini, ngasih tau nya baik, coba dapat dokter galak, bisa kena semprot habis-habisan." Diikuti helaan napas dalam, bersyukur. 
Selain soal steril dan non steril yang benar-benar secara detail diperhatikan, beliau juga rapi. Semua well-structured. Setiap perdarahan diperhatikan dengan jeli, diklem lalu dijahit satu per satu. Tidak ada satupun perdarahan yang dibiarkan, sekecil apapun. Kemudian hecting mucosa dan cutan dilakukan dengan tetap mempehatikan setiap detail perdarahan yang terjadi. Beberapa kali dokter mengecek secara seksama, apakah masih terdapat perdarahan atau tidak. 
"Rasanya itu sudah dok, sudah tidak ada perdarahan" 
"Sudah tidak ada ya, sudah bisa finishing sekarang"
 Setelah itu diberikan salep gentamycin sebagai antibiotik. Kalau dokter lain ada yang menutup bekas jahitan dengan kassa, lain halnya dengan dokter ini yang lebih memilih membuka agar cepat kering. Well, medicine is art, everything based on the doctor's choice. Setelah semua tindakan selesai, dokter kemudian meminta pasien berdiri. Mulai dari selangkangan yang kotor sampai bahkan di Gluetus maksimuspun beliau hendak membersihkannya sendiri. Tapi jelas, saya tau diri, jadi kami lakukan sampai bersih. 

Pasien-pasien berikutnya datang dengan berbagai cerita. Masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Ada yang sangat kalem dan tenang (this is my favorite!). Ada yang hiperbola, belum diapa-apain udah menjerit kesakitan. Seriously belum diapa-apain! Ada yang baru di kasih antiseptik sudah nangis. Ada yang setelah di anestesi beberapa menit masih aja bilang sakit, oke mungkin bisa beneran sakit karena dosis yang kurang atau anestesi yang belum bekerja, tapi ini... he lied. Dosis udah bener, obatpun harusnya udah bekerja. Pas dites, pinset cirugis cuma ditempel (gak dijepit loh ya) di bagian corpus penis, dia menjerit sakit. Terus pas gak diapa-apain tapi ditanya "sakit dek?" dia teriak lagi sakit. Hahaha, don't lie because doctor knows
Ada juga yang teriakin dokternya "Woy! om (maksudnya dokter) sakit ka om!"
"Oh iya om minta maaf" Jawab dokternya dengan santun. Eh? Saya bingung dokternya minta maaf dan manggil diri sendiri om.
"Om jangan pegang-pegang ka! mama, lihat itu om jangan pegang-pegang!" Saya semakin bingung, bagaimana caranya mau disunat kalau dokternya gak boleh megang? But he (the doctor) really humble and kind of a patient person.
Bukan hanya itu, pasienpun berteriak-teriak meminta tolong. Dia memanggil nama kakaknya dan teman kakaknya, serta bundanya. "Bunda tolong! kakak Nanda tolong!" seolah-olah kami akan melakukan hal yang jahat. Namun hal baiknya, ternyata si pasien kebetulan memiliki kakak dengan nama yang sama dengan asisten non steril kami, Nanda. jadi mungkin ada ikatan batin dan merasa kedekatan dengan si Nanda dan asisten non steril kami kini sudah beralih tugas. Dia kemudian minta Nanda untuk memijat kakinya. Mereka lalu bercerita banyak hal, mulai dari pengalaman pribadi waktu Nanda disunat dulu, hobby yang sama yaitu bermain futsal, harga lapangan futsal, dan hal-hal lainnya. Kami berharap dengan apa yang dilakukan Nanda, si pasien dapat melupakan ketakutannya saat itu. Sometimes the patient interrupt, "Jangan pijit disitu! pijit di bagian bawah kakiku kakak Nanda". Nanda memang bisa diandalkan, double job sebagai tukang pijatpun dia lakoni. Untung saja dia jadi bagian non steril dan tugasnya sudah selesai, karena tugas selanjutnya adalah tugasku sebagai asisten steril. Melihat kekompakan si 'tukang pijat dadakan' dengan si pasien, saya hanya bisa tertawa.

Ada lagi pasien yang paling sulit dan keras kepala. Dan, saya dapat pasien yang itu. Dia mati-matian gak mau naik ke tempat tidur, waktu membujuk 30 menit. Kemudian akhirnya mau naik. Sampai di atas tempat tidur, dia gak mau disirkum. Mulai dari gak mau tiduran (ok gak papa sih ga mau posisi tidur, boleh lihat, tapi dia bakal lebih ga mau lagi disunat karena ga berani liat tititnya diapa-apain), ngelipat kuat-kuat kakinya, dan bergerak sebisa mungkin dan melakukan apapun, bahkan memberikan beribu alasan demi menggagalkan usaha sang ibu untuk membuat dia disunat. Ibunya sampai mencak-mencak, marah, akhirnya lemes karena kehabisan tenaga cuma buat rayu dia dan beberapa kali ditahan. Untuk bujuk dia mungkin 45 menit waktu terbuang sia-sia. Bayangkan sudah 1 jam 15 menit, padahal dengan waktu segitu bisa dipakai untuk 2-3 pasien bahkan bisa sampai 4 pasien jika tanpa halangan yang berarti dan pakai teknik laser. Antiseptik sudah diberikan berulang kali karena kering. Kami sampai lelah menunggu dan merayu. Saya juga udah gak tau gimana caranya merayu anak ini lagi. Mulai dari ngasih tau kalau nanti gak sakit karena ada obat penghilang rasa sakit, dikasih main game yang akhirnya ditolak, di elus-elus kepalanya, disembunyikan perlatan hecting biar dia ga liat alat-alatnya dan ga takut, but it's tottally fail! Akhirnya karena sudah lelah dan sudah masuk waktu sholat ashar, saya lebih memilih sholat dulu. Setelah sholat saya sampai berdoa biar pas saya balik, si pasien sudah mau disunat. Pas kembali akhirnya si anak sudah dalam proses sunat dengan cara, dipegang erat-erat sama om nya.

Jumlah 150an pasien berkurang hingga menjadi 102 pasien saja yang benar-benar disirkum. Entah karena alasan tidak mau, tidak datang, atau karena ada KI (kontra indikasi) yang menyebabkan tidak bisa dilakukan sirkum di sini. Proses dari jam 8 pagi berakhir hingga jam setengah 6 sore. Lelah sekali memang, tapi puas. Saya sadar sebagai dokter nantinya, bukan hanya pelajaran teori saja yang penting, namun skill juga harus terus diasah dan dikembangkan. Tidak apa-apa jika saat ini masih banyak kekurangan, tetapi jangan sampai melakukan kesalahan yang fatal ketika sudah jadi dokter nantinya.

Terima kasih banyak untuk penyelenggara kegiatan yang telah memberikan saya kesempatan belajar, terima kasih banyak dokter-dokter yang telah berbagi ilmu yang berharga, dan yang utama, terima kasih untuk semua pasien yang bersedia membantu saya dalam proses belajar.

2 comments: