Putih Abu-Abu Kini Tinggal Cerita #PartOne

7:37 PM Niluh Ayu Mutiara Ariyanti 0 Comments

Sebuah ruang kelas hijau berukuran lumayan besar kini terisi penuh. Dua puluh dua murid pilihan di sebuah SMA unggulan kini terkumpul menjadi satu kelas. Seorang cowok berpenampilan rapi, pendiam, dan lebih banyak mengamati dari pada berbicara memilih bangku kedua dari belakang. Dia memang tidak terlalu ingin menonjol di dalam kelas barunya. Belum waktunya saja pikirnya.
          
     Di bagian deretan kursi terdepan, duduk seorang gadis berambut pendek sebahu. Jauh berbeda dari cowok pendiam itu, si gadis benar-benar terlihat ingin menonjol dan tidak mau kalah. Hal ini dapat terlihat jelas saat guru sedang menerangkan dan dia selalu ingin menjawab tanpa memberi kesempatan teman lainnya terlebih dahulu.
      
     Cewek itu tak menyadari bahwa teman-teman lain di belakangnya benar-benar tidak suka dengan sikapnya. Salah seorang teman sekelas mereka bahkan merasa benar-benar terusik memiliki teman baru seperti gadis itu. Berbeda dengan si cowok yang lebih memilih untuk mendengarkan guru matematika mereka yang mengajar daripada sibuk menilai atau sekedar mengganasi orang lain yang dianggapnya tidak terlalu penting untuk diberikan komentar.
       
     Beberapa hari sudah para murid ‘super’ itu digabungkan dalam sebuah kelas akselerasi. Tidak heran jika kini mereka telah saling mengenal nama, bukan benar-benar mengenal sifat maisng-masing.
               
    Jam pelajaran matematika kini telah usai ditandai dengan bunyi bel yang terdengar tak asing lagi bagi para siswa di sekolah itu. Satu per satu para murid merapikan alat tulis dan buku-buku mereka yang tergeletak di atas meja. Setiap murid mendapatkan sebuah meja dan kursi individu yang hanya dikhususkan bagi satu orang saja.

“Hari ini kita gak ada PR kimia kan?” tanya seorang gadis berperawakan mungil kepada temannya yang paling besar dan paling tinggi tubuhnya di antara murid-murid lainnya di kelas itu.
            "Iya, kita hanya praktik kimia saja” jawab cowok perperawakan tinggi itu.
             “Oh tentang larutan elektrolit dan non elektrolit bukan ya?” tanya cewek itu lagi.
             “Iya benar yang itu Nindy” jawab cowok yang ternyata merupakan ketua kelas mereka.
 “Hey lihat, pak guru sudah menuju ruangan! Ayo cepat! Nanti pak guru bisa marah  kalau kita terlambat” sambung sang ketua kelas yang bernama Piter.

 Di dalam sebuah lab kimia yang juga digunakan sebagai ruang kelas kini dipenuhi dengan para murid berjas putih persis seperti jas-jas yang dikenakan oleh para dokter. Mereka telah membuat kesepakatan dengan guru mereka untuk melakukan suatu praktikum kimia tentang percobaan mengenai daya hantar listrik beberapa larutan yang menunjukkan sifat dari masing-masing larutan tersebut dan jenisnya.

Sebelum memulai semuanya, sang guru membagi para murid menjadi lima kelompok. Si gadis berambut pendek sebahu mendapatkan kelompok yang sama dengan cowok yang waktu itu duduk di deret kedua dari belakang kelas matematika.
“Wah Daniel, ternyata kita kita dapat kelompok yang sama ya” ucap gadis itu berusaha  ramah.
“Iya Tiara” jawab cowok yang ternyata bernama Daniel.
Selain focus dengan praktikum mereka, Tiara juga diam-diam memperhatikan Daniel. Dia merasa aneh melihat teman sekelas barunya yang sedari tadi tidak bisa diam dan tenang dalam memperhatikan uji larutan yang sedang mereka kerjakan bersama. 
Sejak awal pas lagi persiapan alat dan bahan, sampai tinggal mengamati buih-buih udara di electrode karbon nya aja kok dia gak bisa tenang sih? Tiara bergumam dalam hati. Dia lalu mengkerutkan dahinya dan memutuskan untuk membiarkan tingkah Daniel. 
Hasil praktikum lalu dilaporkan kepada teman mereka yang lain untuk segera dituliskan dalam sebuah table yang telah disediakan di sebuah kertas LKS.
***
Daniel selama melakukan uji coba larutan berusaha melakukan semua yang diperintahan secara benar dan berusaha semampunya untuk tidak melakukan kesalahan. Setidaknya dia ingin melakukan yang terbaik di antara teman-temannya yang bisa dikatakan ‘expert’ sehingga mampu menyeimbangi.
Satu per satu alat dan bahan yang telah dibagikan per orang di ambilnya secara luwes dan cekatan. Tentu saja dia telah mengetahui nama alat dan bahan itu karena pernah ditemuinya saat percobaan sewaktu SMP dulu. 
Saat alat telah selesai dirangkai dan semua bahan telah dimasukkan sesuai takaran dan tinggal menunggu untuk diamati. Daniel tak ingin sekedar diam dalam mengamati setiap gelembung-gelembung yang muncul pada salah satu electrode carbon mereka seperti teman-temannya yang lain. Dia dapat bernapas lega karena Tiara telah melakukan hal yang cukup membosankan itu untuknya, sebagai bagian dari anggota kelompok mereka. Dia melirik ke arah Tiara yang sedang asik memangku tangan dan memperhatikan eksperimen secara teliti.
 
Menyadari bahwa dia tak seharusnya hanya diam mematung tnpa melakukan hal apapun, akhirnya Daniel memutuskan untuk berjalan ke meja kelompok lain dan benar saja semua sedang melakukan hal yang sama. Sesekali matanya beradu pandang dengan Tiara tetapi setelah itu Tiara langsung kembali memfokuskan diri ke arah tabung U yang didalamnya sedang terjadi reaksi kimia.
Daniel lalu kembali ke meja nya dan mencari tas spider built berwarna abu-abu. Dia mengaduk-aduk isi tasnya dan akhirnya menemukan buku paket kimia yang dicarinya. Dia lalu membaca dengan seksama teori-teori para ilmuan terdahulu dan melihat kertas LKS mereka agar dapat menjawab soal yang tertera. Dia lebih memilih membaca sambil berdiri daripada harus duduk dan meletakkan buku-bukunya bersama alat-alat yang kini dipenuhi lautan kimia, takut tersenggol dan mengotori buku-bukunya.
***
Walaupun kelas kimia kini telah usai dan semuanya bergegas mengenakan sepatu kembali, namun pikiran Tiara masih melayang-layang pada praktikum yang baru saja dilakukan. Dia tidak memikirkan mengenai apa yang tadi baru saja diujikan melainkan lebih kepada tingkah Daniel yang terlihat banyak tingkah dalam gesture tubuh tetapi diam dalam lisan. Benar-benar membuat penasaran pikirnya. 
“Hai jangan lupa dibuat dalam power point ya!” seorang temannya bernama Desi menepuk pundak Tiara dari belakang dan membuyarkan lamunanya mengenai Daniel tadi.
“Oh iya, kumpulnya minggu depan kan? Sip deh” Tiara yang bertugas membuat power point dari hasil praktikum tadi paham betul apa yang harus dikerjakannya.

     Masing-masing murid kini telah melangkah untuk kembali moving class dengan menggandeng tas di bahu mereka. Daniel kebetulan berjalan di samping Tiara. Baiklah hanya sekedar untuk basa-basi tak apalah jika di ajak ngobrol sebentar pikirnya.
         "Kita kelas apa habis ini?” tanya Tiara sambil menghadapkan wajah ke arah lawan bicaranya itu.
              “Bio” jawab Daniel singkat.
              “Apa?” Tiara tidak mendengarkan tadi karena suara Daniel yang sangat kecil baginya.
              “Biology” Ulang Daniel sekali lagi sambil menuju ke arah ruang Biology.
           “Oh, ya ampun suaranya hemat banget si” Ucap Tiara lalu mempercepat langkahnya. Dia terlihat sedikit kesal karena merasa sedikit diacuhkan.

Daniel yang melihat Tiara berjalan lebih cepat didepannya lalu tersenyum melihat tingkah cewek itu. Entah apa yang membuatnya tersenyum. Mungkin saja merasa aneh karena tiba-tiba wajah ramah Tiara berubah menjadi kesal dan langkah kakinya kini seperti robot yang dipercepat jalannya.
***
Kelas biology kini dimulai. Seperti biasanya Tiara selalu duduk di depan. Sebenarnya andaikan teman-temannya tau dan tidak menyimpulkan macam-macam dahulu, Tiara selalu duduk di depan bukan hanya karena ingin agar selalu mendapat perhatian lebih dari gurunya di dalam kelas melainkan juga karena daya akomodasi matanya yang sudah jauh dari normal. Hal ini menyebabkannya kesulitan membaca tulisan di papan jika harus duduk di deretan kedua dari depan wlaupun sudah menggunakan kacamata.
Biology merupakan pelajaran yang sangat disukai oleh Tiara. Tak heran jika dia sangat ahli dalam menghafalkan nama-nama latin hewan, tumbuhan, bakteri, dan penyakit-penyakit serta bagian-bagian dari sel dan anatomi tubuh makhluk hidup. Sebelum pelajaran Biology dimulai Tiara bahkan sudah lebih dulu mempelajari materi yang akan di bahas oleh guru mereka. Pak Sibarani merupakan guru kesayangan Tiara dan sepertinya sama halnya dengan beliau yang menganggap Tiara sebagai salah satu anak emasnya di kelas itu.
Bapak Sibarani memang memiliki satu kelemahan dalam mengajar. Beliau akan lebih focus bertanya pada murid yang itu-itu saja. Beliau juga agak susah menghafal semua nama murid-muridnya. Sehingga bukan suatu hal yang salah jika lantas murid-murid lainnya merasa cemburu dan sedikit diabaikan. 
Murid-murid pada deret ketiga dan keempat dalam ruangan kelas Biology mulai merasa jenuh. Terkadang ide brilian bisa datang kapan saja bahkan di saat otak tak lagi mampu bekerja menerima pelajaran dikarenakan impuls-impuls syaraf lebih focus bekerja untuk menyampaikan rasa kantuk ke otak dari pada impuls-impuls syaraf pendengaran mengenai materi Biology yang sedang diajarkan. 
Salah seorang dari mereka yang bernama Desi mulai mendapatkan sebuah ide brilliant. Di baliknya sebuah buku biology catatan lalu dirobek lah bagian belakang bukunya. ‘Tulis Gelar Untuk Professor Kita’ lalu seperti sebuah angket, kertas itu berjalan dengan lancar tanpa diketahui oleh murid-murid di bagian deret pertama apalagi pak guru. Dalam waktu kurang dari lima menit kertas itu telah terisi penuh dengan berbagai macam gelar mulai dari sarjana hingga pasca sarjana yang urutannya benar-benar gak beraturan. Lalu di bagian tengahnya tertulis huruf capital bercetak tebal nama panjang Tiara. 
Awalnya Tiara benar-benar tidak mengetahui tentang hal tersebut karena dia lebih focus pada pelajaran yang sedang diajarkan oleh guru kesayangannya itu. Walaupun dia juga mendengar beberapa kali teman-teman sekelasnya di belakangnya yang tertawa pelan dan kadang-kadang mengantuk. Baru beberapa hari kemudian salah seorang teman merka memberitahukan apa yang terjadi saat itu. Tiara yang sedikit sebal dengan apa yang mereka lakukan di belakangnya berusaha tidak ambil pusing dan hanya mengamini semoga semua gelar itu tercapai atau setidaknya gelar dr. bisa dimilikinya.
***

0 comments: