Sebuah Inspirasi dari Sebatang Rokok

5:31 PM Niluh Ayu Mutiara Ariyanti 0 Comments

Akhirnya bisa posting cerpen lagi. Ini pertama kalinya aku nulis cerpen yang rada berbau kedokteran. hihi sambil nulis, sambil belajar. gak ada salahnya kan? Well, satu hal yang membuat aku seneng karena ternyata BPN ISMKI (Badan Pers Nasioanl Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia) mempublish cerpen ini pada Majalah SPEKTRUM BPN ISMKI Edisi Juni 2014 sebagai salah satu isi rubrik mereka. Gak nyangka sih tapi seneng dan bersyukur. Berarti karyaku dianggap "layak" dibaca anak-anak FK di Indonesia :') alhamdulillah. Oke, gak usah lama-lama lagi ya. Pengunjung setia My STory in Teenage's Moment. Selamat membaca :) 
______________________________________________________________________________________________________ 
Sebuah Inspirasi dari Sebatang Rokok   
Oleh : Niluh Ayu Mutiara Ariyanti

 Jalan raya ibu kota terlihat padat. Panas matahari siang itu mampu menambah keresahan hati setiap pengguna jalan. Keringat mengucur deras, membentuk anakan sungai kecil mengikuti lekukan pipi gadis berambut panjang tergerai. Satu-satunya hal yang dipikirkan saat ini hanyalah bagaimana caranya ia bisa lekas pulang untuk bergelut dengan segala macam laporan praktikum histologi yang diberikan dosen tadi pagi. Jalanan semakin ramai dipadati kumpulan manusia. Masing-masing sedang terlena dengan variasi kesibukan yang berbeda. 
     Bus kota yang sudah ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dengan langkah seribu, Falla menapakkan kakinya di atas anakan tangga untuk memasuki kaleng besar bermesin itu. Rasa tidak nyaman kembali menguasai batin. Falla tahu kalau kulitnya memang sedang dalam kondisi terbakar, ini ulah sang raja siang yang terlalu bersemangat dalam menjalankan tugas. 
     Tetapi tidak hanya itu, paru-parunya juga sedang merengek-rengek tidak nyaman. Sekarang apalagi? Falla membatin kesal dalam diam. Bukan hanya karena kadar O2 yang mulai menipis akibat kerumunan manusia yang berebutan melakukan proses ventilasi paru-paru sehingga menghasilkan CO2 menjadi partikel-partikel kecil yang berhamburan, memenuhi ruang gerak yang sempit menjepit. 
     Keadaan memburuk. Dada Falla menjadi lebih sesak dengan tambahan asap rokok hasil hembusan arogan pria bermata sipit yang sedang duduk tepat di depannya. Pria itu dengan santai menikmati sepuntung rokok. Sesekali dia menjepit cerutu itu dengan tangan kanannya sembari setengah menengadahkan kepala untuk menghembuskan asapnya. Gas putih yang mengandung lebih dari 60 jenis karsinogen itu mengepul jelas, menari-nari di udara beberapa saat sebelum akhirnya hilang setelah proses inhalasi oleh orang sekitar yang bernapas. 
     Lelaki bermata sipit itu tidak tahu, atau mungkin lebih tepatnya tidak peduli. Pria berusia sekitar 20an tahun itu tidak mengerti, betapa tersiksanya Falla dan penumpang lainnya yang terpaksa harus “ikhlas” ikut merasakan dampak dari kesenangan semunya. Pria itu masih bungkam dan memilih apatis terhadap berbagai teguran yang ada. Diam-diam sebenarnya Falla sempat memandang lekat pria berkulit sawo matang itu. Falla memang belum pernah bertemu langsung, tetapi entah di suatu tempat sepertinya dia pernah melihat sosoknya. Falla yakin. Tetapi di mana? Dan bagaimana bisa? Memikirkan tentang pria itu membuat perasaan sebal merasuki tubuhnya. Berawal dari kardiovaskular, dipompakan dengan tegas dan terkontaminasi dalam darah yang mengalir. Untung saja perasaan itu bisa segera diredam sehingga keadaan homeostasis masih dapat dipertahankan. 
     Ah tentu saja orang lain juga merasa terusik dengan tingkah laku perokok barusan. Memang dia pikir dia siapa? Seharusnya dia tidak seenaknya melakukan hobby buruk itu, setidaknya bukan di saat suhu ruangan sedang meningkat dan siap untuk mendidihkan setiap darah yang mengalir. Jika ingin menyiksa orang lain, maka dia sudah memilih momen dan cara yang benar-benar ‘tepat’. Falla sebenarnya ingin mengeluarkan segala argumen dan keluh kesahnya. Tetapi pikirannya sudah terlanjur penat. Terlalu banyak hal yang berputar-putar di sana. Memikirkan satu masalah lagi hanya akan menambah beban otak untuk bekerja. Falla tergotong lelah dalam beberapa langkah menuju rumah. Entah mengapa rasanya tas punggung yang bertengger sedari tadi terasa semakin berat dipikul. Namun lega sedikit bisa merengkuh di dada. Rumah sederhana bercat putih telah menyambut kepulangannya dengan senyum bahagia. 
                                                               *** 
      Falla kini sudah menginjak tahun terakhir di bangku kuliah, yang artinya skripsi sedang menunggu dengan tatapan tajam di depan jalan menuju sebuah gerbang yang disebut kelulusan. Tentu saja dia tidak sabar untuk menambahkan gelar S.Ked pada bagian akhir namanya. Membayangkan hal itu membuat dia tersenyum kecil malu-malu. Falla masih di sana, menggenggam segelas cokelat panas yang baru saja diseduh pelan dan mengalir hangat melewati esofagus. Sementara jemari kanannya bermain-main di atas meja, mengetuk pelan papan kayu berwarna putih tulang dan membentuk suatu irama. Dahi gadis berkacamata itu berkerut, terlihat sedang memikirkan sesuatu. 
    Entah mengapa tiba-tiba seberkas bayangan datang. Bayangan itu seketika berhasil mengalihkan konsentrasinya, menjadikan Falla kembali terbuai dalam dunia khayal tentang kenangan bersama sahabatnya Dion yang baru saja berpulang akibat kanker ganas komplikasi pneumonia akut. Mereka adalah teman masa kecil, selalu sekelas dan sama-sama penggemar gorengan. Entah takdir atau hanya kebetulan. Tapi Falla selalu senang. Kecuali pada saat SMP, ketika pergaulan anak muda menjadi sangat sulit untuk dikontrol. Dion sudah salah memilih teman lelaki yang berpikir bahwa merokok dapat meningkatkan kejantanan. Awalnya Dion hanya coba-coba tetapi zat addictive itu ternyata terlalu kuat untuk ditolak. Sekeras apapun larangan dan hukuman dari orangtua. Sekeras apapun Falla menentang dan tidak memperbolehkan. Dion akhirnya menjadi seorang perokok aktif. 
     Sepuluh tahun berakhir ketika akhirnya dia divonis mengidap kanker paru-paru jenis Small Cell Lung Cancer (SCLC) stadium ekstensif. Kanker sudah terlanjur berkembang mengikuti kerusakan genetika pada DNA. Terbesit sesal yang mendalam. Segala upaya coba ditempuh dengan harapan dia bisa sembuh. Namun sehebat apapun usaha dan niatnya untuk berhenti dari kebiasaan buruk itu, hanya nihil hasil yang diterima. Segala upaya pengobatan seperti kemoterapi dan radioterapi telah dilakukan dengan menggelontorkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terlanjur. Sel-sel kanker sudah tidak mau kompromi lagi, sesuka hati membelah diri secara abnormal. Bahkan proses metastasis menyebabkan penyebaran ke jaringan terdekat dari paru-paru Dion. Kanker paru Dion menjadi semakin ganas. Imunosupresi kini melengkapi semuanya. Tubuhnya sudah tidak kuat lagi hingga hembusan napas terakhir menjadi satu-satunya jalan keluar untuk mengakhiri sakit yang diderita. 
     Falla hanya bisa menelan segala kepahitan yang terjadi, menerima segalanya dengan ikhlas. Memang apalagi yang dapat dilakukannya sebagai manusia biasa? Dia hanya mampu mengikuti skenario sang Pencipta.Terbesit luka yang dalam. Luka yang sudah lama dipendam dalam diam. Luka yang saat ini kembali menganga lebar dan belum terobati. Luka yang ada di dalam hati. Kenyataannya tidak ada makhluk ciptaan Tuhan yang mampu merubah apalagi melawan takdir. Tetesan bulir-bulir air hangat merengkuh pipi yang mulai memerah. Duka itu kini kembali. Rindu tak dapat dibendung lagi. Hatinya bagai diselimuti kelabu, dihantam hujan badai. Falla menangis meratapi kisah hidup yang sulit. Menangis dalam kesendirian, berbalut hampa yang mencekam. 
      Jam berputar berlawanan arah rotasi bumi. Segala luapan perasaan telah pergi. Lega kini menyelimuti hati, memeluk beberapa ruang kosong tak berpenghuni. Falla kini teringat kejadian dua tahun yang lalu saat seorang pria bermata sipit secara terang-terangan merokok di dalam bus dan tidak menghiraukan orang lain. Falla baru sadar, ternyata pria itu sekilas mirip dengan Dion. Bukan saja karena kebiasaan merokok yang buruk, tetapi juga perawakan yang tidak jauh beda. 
      Falla kini mendapat sebuah ide baru yang menurutnya bisa menjawab persoalan yang selalu mengekor akhir-akhir ini. Dia tahu tema apa yang akan dituliskan dalam skripsinya dan penelitian yang akan dilakukan. Tentu permasalahan tentang rokok akan menjadi topik utama, selain dihubungkan dengan manifestasi klinis lain. “Terima kasih Dion, kamulah inspirasiku” Terdengar hembusan napas yang dalam. 
      Dipandangnya langit-langit kamar dengan senyuman penuh makna. Seandainya ada takdir lain, misalnya Tuhan kembali mempertemukannya dengan pria bermata sipit yang ada di bus waktu itu. Ingin sekali Falla mewawancarainya, menanyakan riwayat merokok dan seperti apa keadaannya sekarang. Sudah sejauh mana nikotin dan zat-zat berbahaya lain melakukan tugasnya. Walaupun Falla berharap pria itu sudah meninggalkan kebiasaan buruknya dan kejadian yang dialami sahabatnya tidak berulang kembali. Falla benar-benar menginginkan lingkungan yang bebas dari asap rokok dan yang tersisa hanyalah perokok aktif yang sudah sadar, tanpa ikut-ikutan menjadikan orang sekitar menjadi perokok pasif. Seandainya bisa maka dia akan sangat bahagia.

You Might Also Like

0 comments: