Putih Abu-Abu Kini Tinggal Cerita #PartTwo

3:17 PM Niluh Ayu Mutiara Ariyanti 0 Comments


Hallo readers, ini sebenarnya bukan lanjutan dari Putih Abu-Abu Kini Tinggal Cerita #PartOne tapi karena masih mengenai kisah di masa SMA so aku gabungin aja sebagai lanjutan dari Putih Abu-ABu #PartOne tadi. Selamat membaca :)
_________________________________________________



TENTANG KISAH SMA KITA YANG TAK LAGI LAMA

Written By : Niluh Ayu Mutiara Ariyanti


Kita tau berapa lama lagi waktu yang disediakan Tuhan untuk kita habiskan bersama-sama, tak lagi lama. Kita juga tau bahwa semua akan segera berakhir dan menemukan ujungnya, perpisahan. Kita masih melewati jalan kenangan, jalan yang sama setiap harinya. Kita masih bersenda gurau di sepanjang tanah merah yang kita pijak. Kita masih memakai seragam masa kejayaan para remaja, putih abu-abu. Kadang kala kita masih bertingkah seperti anak kecil, benar saja, walaupun tak selamanya seperti itu.  Terkadang terjalin pula konflik kecil di antara kita, namun dengan besar hati kita saling meminta maaf dan memaafkan.
Memang sedikit tak adil rasanya ketika Tuhan hanya memberikan waktu yang sedikit bagi kita, yaitu hanya dua tahun saja, tidak seperti teman-teman yang lainnya. Tetapi dari situlah semua terasa lebih bermakna.    
Aku paham betul rasanya kawan, bagaimana kejenuhan kita berpacaran dengan buku-buku tebal setiap harinya. Aku mengerti bagaimana rasanya ngantuk di dalam kelas hingga kelopak mata terasa begitu berat akibat begadang belajar hingga tengah malam. Aku juga mengerti rasanya mengoceh malas saat diberikan begitu banyak tugas. Aku lebih mengerti lagi saat kita sulit menyamakan antara kemauan dan keharusan, antara harus belajar sementara rasanya enggan sekali melakukan.  
Belajar memang kewajiban kita, karena di waktu yang jauh ‘lebih sedikit’ ini, waktu seolah meminta kita lebih cermat mempergunakannya. Tetapi bukan berarti aku bosan dan tak bersyukur dengan siklus hidup yang telah digariskan.
Di sela-sela moving class, atau di saat guru sedang keluar sebentar, candaan kalian lalu terlontar begitu saja. Ribut, ocehan ceplas-ceplos Anak Baru Gede yang sok tau banget, jahil menggoda teman, seolah menjadi obat mujarab yang seketika mampu menghilangkan stress dari pikiran kita. Aku harap kalian paham bahwa aku selalu bahagia saat bersama kalian dan aku bersyukur memiliki kalian sebagai teman dan sahabatku di sini.
Banyak cinta yang lalu tumbuh dan bermekaran. Ah dasar anak remaja, pasti saja ada tentang kisah asmara. Aku selalu teringat saat kamu bercerita bahagia kepadaku tentang pacar kesayanganmu itu, dan lalu … kamu juga tak henti-hentinya mengomel karena sedang kesal kepadanya. Benar-benar masih labil.
Aku mendesah begitu dalam, seketika. Rasanya enggan sekali menghitung mundur, tetapi tetap kulakukan, pasti. Setidaknya agar kita tau bahwa kita telah melewati satu hari lagi bersama-sama. Bahwa telah bertambah kebahagian yang kita ciptakan di sini dalam hari-hari yang terpintal semakin erat.
Hingga nanti telah tiba saatnya semua buku pelajaran tingkat Sekolah Mengengah Atas kita tutup, seragam putih abu-abu mulai dilipat rapi dan tak lagi dipakai, sepatu hitam yang selalu disemir mulai ditinggalkan, dan tak ada lagi kita yang selalu ramai dengan tawa dan cerita.
Setiap kisah yang telah mengabu lalu tertiup angin. Mereka terbang, tersebar di setiap bagian sekolah. Ada kisah-kisah sederhana yang selalu menyenangkan untuk dikenang. Ada tempat bersejarah yang selalu senang untuk dikunjungi, ada pula benda kesayangan yang selalu dijamah bahkan hingga dicorat-coret oleh tangan-tangan usil yang sedang tak ingin mendengarkan penjelasan gurunya, yaitu bangku dan meja-meja kelas sebagai saksi bisu ukiran nama pasangan muda yang entah kapan akan nikahnya.
Aku tersenyum, perlahan menggoreskan lekukan pada kedua pipiku yang mulai memerah. Rasanya sedikit lagi semua anganku tadi akan menjadi nyata.
Kita semua tau berapa lama lagi waktu yang disediakan Tuhan untuk kita habiskan bersama-sama, tak lagi lama.

0 comments:

Menerawang Senja

11:37 PM Niluh Ayu Mutiara Ariyanti 0 Comments


Menerawang Senja
Karya : Niluh Ayu Mutiara Ariyanti


Cerita Fiktif dan Bukan Untuk Siapa-Siapa

Jalan setapak dipenuhi dengan ilalang dan bunga tak bertuan. Daki dan terus kudaki hingga kucapai puncak bukit tertinggi di belakang sekolah. Kamu terlihat sangat lelah. Jelas saja aku masih bisa membayangkan bagaimana desahan nafasmu yang mulai tak terarah. Keringat jatuh dari pelipis kananmu dan lalu menuju pipimu. Ternyata kamu lebih memilih menghapusnya menggunakan tangan kiri karena tangan kananmu terlihat kotor menghitam setelah tadi sempat terjatuh di atas gundukan tanah yang tidak rata. Lalu bersama kita tertawa lepas. Baju seragam kita terlihat lusuh sekali dan bau keringat perjuangan para pendaki. Ya, seusai kelas siang kita tak sempat berganti seragam dan memutuskan melihat senja sama-sama.

“Ayo cepat, dikit lagi kita sampai kok Zahra. Semangat!” Aku membalikkan wajahku kebelakang dan kembali melihat keadaanmu.

“Iya aku juga maunya cepat sampai Adnan” Wajahmu terlihat manja sekali saat itu.

Aku tersenyum memandang dirimu yang semakin terlihat lelah. Aku senang melihat setiap ekspresimu itu. Aku sempat berhenti sebentar untuk menunggu kamu yang masih tertinggal sekitar tiga hingga empat langkah dibelakangku. Aku sengaja tidak ingin membantumu agar kamu lebih terlatih. Entahlah apa yang ada dalam pikirku. Hanya aku senang saja melihat kamu yang selalu ingin berusaha berdiri dengan kaki sendiri, seperti saat itu. Mungkin juga karena aku sedikit jahil dan ingin mengerjaimu.
          
      “Wah, kita sampainya di waktu yang tepat! Lihat mataharinya tepat di ufuk barat. Bukankah ini bagian kesukaanmu? … iya kan?” Tak terdengar jawaban apa-apa bahkan hanya ada semilir angin yang meniupi rumput-rumput liar di bawah kakiku.

Tersadar bahwa tak ada sautan dari gadis itu, aku lalu membalikkan wajah kebelakang.

“Zahra, kamu dimana? Zahra! Ya ampun jangan main petak umpet dong.. Zahra!” aku memanggil-manggil namanya tetapi tak kunjung aku temukan.

Aku mulai panic seketika. Kepalaku terasa pening dan menjadi sangat berat. Jantungku berdebar tak karuan. Tubuhku seketika keringat dingin. Ya ampun, di mana dia? Ini pasti salahku. Mengapa harus aku tinggalkan dia duluan? Seharusnya aku sebagai cowok yang mengikuti dan menjaganya dari belakang. Sadar bahwa betapa bodohnya diriku. Seketika aku terdiam, tak mampu berpikir. Aku takut, takut sekali saat itu.

Bagaimana jika dia diculik orang? Bagaimana jika dia kesasar dan bingung jalan pulang? Walaupun sudah beberapa kali kita ke tempat yang sama, namun Zahra bukanlah orang yang mudah menghafal jalan. Bagaimana jika dia terluka? Bagaimana jika dia dirampok orang? Bagaimana jika hal yang lebih buruk terjadi padanya? Pikiranku mulai melambung tinggi, memikirkan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi.

Sekitar dua puluh menit waktu berlalu, namun tak kunjung aku temui Zahra walau telah kucari di sekitar bukit yang telah kita lewati.

“Zahra, jangan bermain seperti ini! Cepat kemari! Kamu dimana! Jangan bikin aku panik seperti ini, please!” aku mulai khawatir, takut Zahra kenapa-napa.

Kakiku rasanya melemah, gemetaran. Aku terjatuh, kakiku tertekuk. Tanganku lemas, jantungku berdebar sangat kencang. Aku memandangi langit-langit sore dengan wajah tanpa ekspresi. Aku memukuli tanah, menjambak rerumputan. Aku tak dapat berhenti menyalahkan diriku.

Tiba-tiba dari belakang “Hey! Jangan melamun! Hahaha” Zahra mengagetkanku dengan menepuk pundak belakangku lumayan keras.

“Ya Ampun kamu dimana sih! Jangan gini lagi lain kali, aku kan takut kalau…”

“cie yang takut aku kenapa-napa.. ahahaha” dia lalu tertawa lepas sembari menggodaku.

“Ya, kan kamu masih kecil, takutnya hilang atau diculik orang” jawabku sedikit ketus namun senang karena ternyata dia baik-baik saja.

“yee, enak aja. Kita itu sama-sama udah kelas tiga SMA. Jadi aku bukan anak kecil lagi” wajahnya sedikit cemberut.

“iya sih, tapi kamu selalu kayak anak kecil dimataku. Lagian kamu sembunyi dimana sih tadi? Aku nyari-nyari kok gak ketemu? Sampai nyerah deh tadi, mana HP mati lagi! Gak bisa nelpon kamu atau nelpon polisi kan jadinya”

“Hahaha bohong amat bilang hape kamu mati. Aku tuh tau banget hari ini kamu lupa bawa hp ke sekolah!”

“hehehe ups ketahuan deh” aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Pipiku memerah, malu.

“hahaha Zahra tau dong! Hmm.. lagian masa nyari aku di bukit sepanggal ini aja mesti minta bantuan polisi sih? hahaha ternyata dari kecil sampai sekarang kamu gak pernah menang ya kalau main petak umpet sama aku”

“heem.. bukan gitu juga” aku ngambek dibuatnya, tapi mau apalagi memang seperti itu kenyataannya. Sejak kecil dia selalu menang jika bermain petak umpet.

“Aku itu tadi cuma istirahat aja di…” mata peri nya melirik ke arah sebuah batu yang tidak terlalu besar namun cukup untuk menyembunyikan tubuhnya yang mungil.

“Ya ampun di situ? Tapi kok tadi gak kelihatan?” aku tersentak kaget.

“gimana mau kelihatan, kamu kan Cuma hilir mudik naik turun di tempat kita jalan tadi sementara gak merhatiin sekitar dengan seksama” benar saja. Aku memang tidak hebat dalam mencari.

“Iya sih, huh aku kalah deh” tangan kananku menyeka keringat yang menetes.

“hahaha jangan sedih dong, lagian aku gak bermaksud sembunyi kok. Aku Cuma mau istirahat sebentar” Zahra menjelaskan sambil melempar-lembar kerikil kecil ke bawah bukit.

“Kok gak ngajakin aku?” aku berjalan sedikit dan berdiri tepat disampingnya.

“ya aku sebenarnya emang mau manggil kamu. Tapi aku udah sebel deluan gara-gara kamunya ninggalin aku terlalu jauh. Mau ngejar juga aku udah capek banget. Lagian kamu sih pake acara jalan sendiri di depan! Nanti kalau aku hilang, baru deh di cariin” bibirnya sedikit manyun dan wajahnya memerah. Raut wajahnya terlihat sedikit kesal.

“Aduh gawat, ada yang ngambek nih!” aku mencubit pipi kanannya yang kotor, dia terdiam. Lalu aku menghapus beberapa pasir kecil yang masih tersisa di sana. Zahra lalu tertunduk malu.

Ku palingkan wajahku ke arah langit-langit yang masih memancarkan efek tyndal. Dari atas sini kita bahkan bisa melihat sebuah danau alami dan laut bebas yang hanya dibatasi oleh beberapa gunung yang cukup tinggi dan besar.

Warna keemasan langit yang sangat luas bahkan terpancarkan pada genangan air berwarna hijau kebiru-biruan. Wajah-wajah gunung di situ juga ikut tercermin pada air danau yang jelas dari atas sini.

Aku lalu merebahkan badanku dan menutup mata untuk beberapa saat. Aku kembali membuka mata kemudian, menoleh  ke arah samping dimana seharusnya tempatmu berada. Aku melihat pakaian yang kukenakan ternyata sudah berbeda. Aku membuang wajah ke arah belakang dan ternyata pohon-pohonnya sudah banyak ditebang. Aku kembali melihat ke depan dan menghembuskan napas cukup panjang, sedikit lega. Danau, gunung, laut bebas, langit, dan senja yang dulu kita lihat masih sama. Aku tersenyum. Dengan mudahnya senyuman itu tergoreskan dan menarik kedua sisi bibirku membentuk huruf U.
      
       Senyuman itu menyadarkanku dari lamunan panjang tentang kisah masa lalu kita tadi, di tempat ini. Kita tidak mungkin lagi memakai seragam putih abu-abu, karena telah kita tinggalkan sejak lima tahun yang lalu. Namun senyumanmu tidak akan mungkin terlupa dari memoriku. Setiap kisah yang terjadi memang tidak mungkin terulang. Namun biarlah semua itu aku simpan sendiri, biarkan tempat ini menjadi saksi.

Senja yang membawa setiap memori kini akan segera pulang kembali. Dia tak ingin lagi menampakkan diri untuk hari ini karena waktunya telah selesai. Seperti waktu kita yang juga telah habis di sini.

Tenang namun pasti, langit berubah menjadi ungu dan akhirnya menghitam. Aku tau saatnya aku pulang sekarang. Saat aku menapakkan kaki kembali aku sadar bahwa masa lalu tak harus dibawa kedepan. Namun seperti bunga-bunga mimpi yang mampu datang kapan saja, terkadang memoriku mampu kembali memutar ulang kisah kita dengan begitu jelas.
      
      Sekarang kamu dan aku yang bahkan belum sempat menjadi ‘kita’, tidak lagi bersama. Karena setelah kita keluar dari SMA, masing-masing memiliki jalan yang berbeda.

Saat masa lalu hanya bisa di kenang, saat ini hanya mampu di lalui, maka di masa depan aku harap semua akan sesuai dengan keinginan. Mungkin saja cinta yang terpendam akan mampu teruraikan. Mungkin saja sela-sela jemariku yang hampa ini akan mampu terisikan dengan genggaman jemari sosok yang aku inginkan, yaitu kamu.

0 comments:

Sebuah Puisi yang Tulus Kutulis untuk Kedua Orangtuaku

9:58 PM Niluh Ayu Mutiara Ariyanti 2 Comments


KASIH YANG TAK MUNGKIN TERBALASKAN
Karya : Niluh Ayu Mutiara Ariyanti (12 Juni 2013)

Saat ruh ku mulai ditiupkan oleh sang Pencipta,
Dari situlah awal kehidupanku dimulai.
Saat tubuh kecilku mulai terlahir di dunia
Aku tau bahwa dirikulah sosok yang seharusnya berbahagia.

Aku terpilih di antara jutaan ruh di langit sana
Untuk hadir dalam sebuah keluarga baru
Untuk mendapatkan kasih dan sayang yang teramat banyak jika dihitung secara matematika
Di antara mama dan papa yang sangat menantikan sosok bayi mungil itu.

Aku terpilih sebagai anak pertama.
Bukan sebuah kebetulan dari Sang Maha Kuasa
Namun sebuah rencana besar yang memang telah diskenariokan.
Aku yakin bahwa aku sangat beruntung
Menjadi buah hati yang sungguh amat berharga bagi mereka.

Saat tiga hari lamanya menahan sakit dirumah bersalin,
Ku tau bahwa mama tak pernah mengeluh dan menyesal
Bahwa sakit yang teramat perih dan tidak mampu kubayangkan
Tak pernah menggugurkan usaha kerasnya sebagai wanita sejati.
Ada angan dan impian yang lebih besar ia harapkan di balik rasa sakit itu, yaitu hadirku.

Aku termaksud dalam golonganNya yang berbahagia.
Betapa aku harus bersyukur kepadaMu, Tuhanku yang Maha Agung
Betapa istimewa karuniamu..
Aku lahir secara normal, sehat, tanpa cacat, dan dalam lingkungan yang penuh cinta

Waktu kini terus berlalu..
Tidak banyak yang berubah dari mereka berdua..
Sosok hangat dan penuh wibawa yang selalu aku hormati dan aku sayangi
Bahkan kasih sayang mereka masih sangat terasa, tidak sedikitpun lekang bersama waktu
Kecuali usia yang semakin lama kian meninggi seiring dengan pertumbuhanku…

Aku kini tumbuh sangat cepat rasanya.
Padahal aku masih ingin bermanja-manja seperti anak seusiaku yang seharusnya masih SMA.
Aku masih ingin berkumpul bersama keluargaku
Dari situlah aku paham mengenai istilah rumahku adalah istanaku
Bahwa kebahagiaan sejati yaitu ketika bisa berkumpul dan merasakan kasih sayang orangtua

Terkadang aku masih sering menangis
Terkadang aku masih sangat sulit bangkit ketika kekecewaan melanda
Atau saat aku gagal dalam meraih sesuatu yang aku kejar
Saat usaha yang aku lakukan ternyata belum mampu membuahkan hasil baik sesuai harapan..
Saat kegagalan masih mampu menggoyahkan semangat yang membara

Aku selalu takut, sangat takut berhadapan dengan kegagalan.
Aku takut mengecewakan kedua orangtuaku.
Aku tidak ingin membuat mereka yang telah menaruh harapan besar kepadaku
Mengalami kesedihan karenaku.

Walau mama dan papa selalu berkata tak apa, lantas meneymangatiku kemudian..
Walau mereka selalu memberikan semangat yang meneduhkan jiwa
Tetapi aku tau bahwa sedih itupun merasuk dalam hati mereka
Dan aku akan lebih terpuruk ketika mengetahui bahwa mereka bersedih karenaku.

Apa? Apakah aku terlalu cepat dewasa?
Entahlah, aku tidak mengerti mengenai kedewasaan yang terjadi kepadaku.
Hanya saja untuk saat ini aku benar-benar tak mampu memberikan apapun selain kesuksesan kepada mereka
Saat ini hadiah yang mampu kuberi hanyalah berusaha sebaik-baiknya atas apa yang kucita-citakan.

Kita tidak selamanya di atas
Ada kalanya kehidupan ini berputar layaknya roda
Ada saatnya pula dimana aku bisa terjatuh, tersandung, dan harus kembali memanjat.
Ada saatnya dimana kita berusaha namun Tuhan belum mengijinkannya
Ada saatnya dimana apa yang kita harapakan belum sesuai seperti kehendak Sang Maha Pencipta

Ya Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang..
Izinkanlah aku memohon kembali, dari sekian juta harapanku sebagai manusia biasa.
Aku hanya ingin membahagiakan kedua orangtuaku
Aku hanya ingin membuat mereka bangga dan tersenyum padaku
Aku hanya ingin menjadi salah satu diantara sekian banyak anak yang berbakti kepada orangtuanya

Ya Allah, mudahkanlah semua urusanku
Bantu aku menjemput impianku
Bantu aku menuju apa yang aku cita-citakan
Bantu aku bangkit di saat aku terpuruk oleh keadaan
Jangan jadikan aku hambamu yang mudah putus asa..

Ya Allah, berikan umur panjang kepada kedua orangtuaku
Berikan kebahagiaan dan kesehatan
Berikanlah keteduhan jiwa dan anak-anak yang sholeh dan sholehah
Jadikan mereka menjadi hambamu yang taat dan setia mengikuti ajaran agama

Ya Allah, betapa aku sangat mencintai mereka
Betapa aku ingin membahagiakan mereka,
walaupun tak kumiliki sesuatu yang berharga sekarang…
Allahumma yassir wala tu’assir. Rabbi tammim bilkhoir. Birokhmatikaya Arhamarrohimin…



Seorang putri kecil yang sangat beruntung

Niluh

2 comments: