KARENA LANGIT TAK SELAMANYA CERAH

5:13 PM Niluh Ayu Mutiara Ariyanti 3 Comments


KARENA LANGIT TAK SELAMANYA CERAH
Karya : Niluh Ayu Mutiara Ariyanti

Kita masih memandang langit yang sama walaupun rupanya tak selalu seperti itu adanya. Terkadang dia berwarna putih dan tertutup oleh awan yang bagaikan kapas. Kadang wujudnya berubah menjadi gelap dan berwarna hitam. Sesekali hujan menangis dan mengguyur bumi dengan derasnya. Namun tak jarang pula biasan cahaya yang membentuk pelangi mewarnai cerahnya hari untuk mengibur langit yang cengeng. Seperti wujud langit yang selalu kita tatap berdua, berubah-ubah dan tak  selalu pasti. Seperti itu pula hidup yang kita jalani sekarang ini.
Aku bukanlah Tuhan. Aku juga bukan sang Maha pencipta segalanya, sudah pasti. Aku bukan suatu zat mulia yang memiliki kekuatan diluar batas kemampuan manusia untuk dapat mengatur segala sesutau dan menakdirkan serta menciptakan hal yang sempurna. Aku hanya manusia biasa, ya tanpa kemampuan super untuk mengetahui masa depan secara pasti. Hidup ini kadang membingungkan. Tidak selalu sama dan tidak selalu bisa diprediksikan secara tepat. Belum tentu apa yang terjadi saat ini akan terjadi pula hal yang sama esok, walaupun waktu memang selalu berputar rutin dengan cara yang sama, monoton.
Aku terkadang takut jika esok semua kebahagiaan ini akan luntur begitu saja. Aku takut besok senyuman yang terlukis di wajah kita masing-masing tak lagi nampak. Aku takut genggaman erat tangan kita sedikit demi sedikit mulai merenggang. Aku takut hangatnya sinar matahari tak lagi sehangat persahabatan kita. Aku takut persatuan kita mulai tak lagi terjalin. Aku takut iri dan benci mulai hadir di hati kita masing-masing. Aku takut sinis dan cibiran mulai hadir menghiasi setiap kata yang keluar dari bibir kita. Aku takut kamu akan lebih peduli dan menemukan orang baru yang lebih baik dan lantas melupakanku.
“kamu jangan pikir yang aneh-aneh dong, kita akan jadi sahabat selamanya” tanganmu mulai menggenggamku.
“Aku hanya takut” aku tertunduk, menggenggam jemarinya semakin erat.
“Kenapa? Apa kamu tak bisa mempercayai aku?” kali ini dia mulai ragu.
“bukan.. bukan begitu”
“Lalu apa? Aku gak mau kamu mikir hal-hal aneh yang semoga gak akan terjadi sama kita” dia lalu tersenyum tipis dan memegang tanganku di depan dadanya.
            Aku tau diapun sedikit ragu. Mengapa? Kata “semoga” yang terlontarkan seolah menggambarkan sedikit ketakutan yang sama seperti yang aku rasa. Namun dia tak ingin memperlihatkannya. Dia tak ingin membuatku yakin dnegan kerguanku itu.
            “Aku hanya takut, itu aja kok. Ya soalnya perasaan orang itu kan biasa berubah kapan aja. Aku takut semua akan terjadi sebaliknya”
            “kenapa kamu berkata seperti itu? Kenapa kamu tiba-tiba berpikir begitu? Apa kamu mulai merasa tidak nyaman dengan persahabatan kita?” keningnya mengkerut. Matanya terlihat meminta suatu pengakuan dariku.
            “Enggak, enggak sama sekali. Aku ngerasa nyaman kok. Cuma sedikit lagi kan kita bakal pi-pisah” aku kembali tertunduk memandangi kerikil-kerikil kecil di bawah kakiku”
            “Perpisahan ya. Pertama kamu harus tau kalau perpisahan itu gak bisa dipungkiri. Semua orang juga bakal pisah. Bahkan untuk pasangan suami isteri yang udah saling mencintai aja bisa terpisahkan oleh kematian…” dia lalu memandangi langit sore, “ya termaksud kita, aku tau, sedikit lagi.” Bibirnya lalu mengatup.
            “iya, itu yang sejak tadi aku takuti. Sejujurnya aku khawatir”
            “khawatir?” dia lalu mendesah sesaat dan menungguku untuk menjawab.
            “Nanti kalau kita udah lulus, kamu akan nemuin teman baru”
            “Ya kamu juga kan? Hehe” tawanya seolah tertahan oleh sesuatu.
            “terus kalian bakal main dan ketemu sama-sama lebih sering”
            “Itu kan hanya masalah frekuensi karena tempat kuliah yang sama”
            “dari situ kalian bakal akrab.. dan..” aku tak ingin melanjutkan, berharap dia mengerti apa yang aku maksudkan.
            “Oh kamu cemburu ya kalau aku lebih dekat dengan yang lain? Hahaha cie kayak pacar aku aja cemburuan hahaha” dia tertawa lepas kali ini. Dia semakin terlihat cantik saja dengan ekspresi seperti itu.
            “Ih kamu ini! Aku gak sama tau kayak pacar kamu! Aku kan cewek! Jangan-jangan kamu lesbian ya! Ih takut aku, diem-diem kamu naksir aku ya!” aku mulai ngeledek dan ngelantur, susasana mulai lebih ceria.
            “ye! Kamu pikir aku homosex apa? Aku gak bilang naksir kamu kok. GR ya kamu haha”
            “Ya habisnya.. uh iya deh hehe. Tapi aku serius tadi”
            “Iya, aku tau kekhawatiranmu itu. Aku juga sering kok mikir kayak gitu. Gimana nanti kalau haluan kita udah berbeda, tempat kita menimba ilmu udah gak sama, hari-hari yang kita jalani udah gak berduaan lagi, kita udah gak selalu pergi kemana-mana tempelan terus kayak perangko dan suratnya, kita udah gak kayak bapak Gatot dan kumisnya yang selalu terlihat klop, kita..”
            “eh stop, stop! Kok ada kumis pak Gatot sih?” aku memotong hayalannya yang mulai melambung jauh.
“hehe maaf deh, aku tiba-tiba inget aja. Kan dari sekian banyak guru kita, beliau yang paling mudah diinget dengan style nya yang beda sendiri itu loh!”
“Ah sama aja kok style guru-guru kita. Toh juga baju yang dipakai sama semua, Seragam. Inget style apa kumisnya nih!? apa mungkin kamu jatuh cinta ya sama kumisnya? Jadi inget terus deh! Haha” obrolan kami mulai mengarah ke arah candaan.
“Yee… enggak lah hahaha. Aku tau kita bakal kangen semua yang ada di sekolah ini. Bahkan guru-gurunya mulai dari yang paling baik sampai yang paling killer kan nada semua”
“Apalagi ibu Rose! Gila deh tuh Ibu kalau ngasih PR tebel nya minta ampun!”
“Iya! Kalau di suruh nyatat banyak banget! Kalau ngedikte aja cepet nya kayat kereta yang babalas ‘seeettt’ udah tiba-tiba udah sampe di titik aja! Padahal baru juga nulis dua kata hahaha”
“ah kalau itu sih karena kamunya aja yang lambat nulisnya!” aku menpuk pundaknya dan tertawa.
“ah enggak juga kok hehehe. Tapi ya walaupun sering terlambat nyatat aku kan bisa minjem punya kamu!” dia balik menepuk pundaku.
“ah dasar kamu sejak dulu sama aja haha”
“ya that’s the real me. Congrats you’ve known! Tapi kalau kita pisah aku gimana dong? Kalau telat aku minjem catatan siapa?”
“ya pinjem temen baru kamu aja” aku sedikit sewot.
“Ih kok kamu jadi sewot gitu sih bilangnya. Jangan cemburu dong sayang!” dia mulai menggeliat manja dan memelukku.
“Ih geli ah! Genit banget meluk-meluk. Ya kan ada temen baru kamu nanti”
Dia menarik napas yang cukup panjang, “Kita tidak mungkin hidup selamanya dengan orang yang sama. Ada yang datang dan ada yang pergi. Tapi bukan berarti setiap orang yang singgah di kehidupan kita sama semua. Belum tentu yang baru lebih baik. Kamu ngerti maksud aku kan?”
“YES, I got it so clearly. Aku cuma gak mau kamu ngelupain aku”
“so do I”
“kalau aku ya gak bakal lupa sama kamu lah!” aku berbicara tegas seperti sedang membacakan sebuah ikrar.
“so do I”
“kok dari tadi ‘so do I” terus sih?”
“hm, aku bakal lakuin hal yang sama seperti yang kamu lakuin selama kamunya gak berubah dan tetap seperti ini”
“Lalu kalau aku berubah?”
“aku gak mau kamu berubah.” sebuah jawaban yang singkat dan pernyataan yang jelas tapi sebenarnya tidak menjawab pertanyaanku sebelumnya.
“Setiap orang bisa berubah setiap saat”
“itu tergantung masing-masing individunya. Bagaimana dia mengontrol dirinya karena hanya dia yang paling memahami apa yang sebenarnya dirinya mau dan butuhkan”
“butuhkan?” aku bertanya dan memintanya memperjelas kalimat yang barusan terucap.
“Iya, yang dia butuhkan. Seperti apa teman yang dia butuhkan di masa-masa saat dirinya mulai menjadi lebih dewasa nanti”
“Aku mengerti kok apa yang diriku butuhkan dan apa yang diriku mau”
“seperti apa?”
“aku mau dan aku butuh teman baik seperti kamu yang udah mengerti semua sifat buruk dan menjengkelkanku tetapi masih mau bermain dan menjadikan aku sahabatmu”
“hehehe makasih” dia tersenyum malu padaku, “ Aku juga sama. Aku takut aku gak bisa jadi sahabatmu seperti yang kamu butuhkan saat dewasa nanti karena masa-masa seperti sekarang dan masa yang akan datang akan jauh berbeda”
“ seperti yang kayak kamu bilang tadi kalau ada yang datang dan ada yang pergi. Tapi bukan berarti setiap orang yang singgah di kehidupan kita sama semua. Belum tentu yang baru lebih baik. Aku percaya kok kalau kamu bakal jadi yang terbaik di antara teman baik yang aku punya” aku lalu memeluknya.
“Aku juga percaya kamu adalah teman yang terbaik diantara teman baik yang aku punya” dia balik memelukku.
“jangan lupakan saat-saat seperti ini ya? Janji ya?”
“iya aku janji. Kamu juga ya?” dia mengangkat jari kelingkingnya.
“Iya aku janji” aku lingkarkan kelingkingku ke miliknya yang ukurannya lebih kecil dan kami berduapun berjanji di bawah langit sore yang teduh.
Bahagia menyelimuti hatiku saat ini. Dan tak ada pula yang mampu mengetahui seberapa bahagiakah aku esok hari. Masih samakah seperti ini? Aku hanya mampu berharap kami berdua mampu menepati janji kami dan selalu menjadi sahabat seperti hari ini.
Langit sore indah sekali, orange warnanya. Aku tau bahwa tak ada yang mampu mengetahui secara pasti warna langit apa yang akan hadir esok hari. Aku hanya mampu berharap langit selalu indah seperti hari ini.
Seperti langit yang tak selalu sama setiap harinya. Seperti itulah realita kehidupan daN perasaan setiap orang, tidak selalu sama, dan TAK ADA KEPASTIAN.

3 comments:

Pelajaran Dari Sebuah Warung Pinggir Jalan

2:29 PM Niluh Ayu Mutiara Ariyanti 0 Comments


Awan hitam semakin menebal. Bahkan langit semakin gelap terasa. Cahaya dan sorot lampu jalan mulai remang-remang terlihat. Kabut mulai menutup pandang. Rintikan hujan kini semakin deras menghujam.
“tak ada waktu lagi untuk berteduh, aku harus segera pulang” aku berkata pada diriku sendiri sambil menengok kecil ke arah jam tangan silver yang melingkar indah di pergelangan tangan. Jarum jam telah menunjukkan pukul 10 malam.
Aku berlari mengejar waktu. Aku bertarung menghadapi dinginnya malam dan derasnya hujan yang sedang aku terobos, bermodalkan tekat yang bisa dibilang nekat. Tempat tujuanku masih lumayan jauh. Keinginan untuk melanjutkan perjalanan rasanya sedikit terkurungkan. Perutku mulai tak mau di ajak kompromi, bahkan di saat penting dan genting seperti ini dia tetap saja egois meminta makan. Asam lambungku semakin banyak.
Sudah terjadi begitu banyak proses di dalam lambungku. Hcl berlebih nampaknya sudah naik ke esophagus sebagai penghubung antara kerongkongan dan lambung. Terlalu banyak asam lambung yang dihasilkan tanpa adanya asupan makanan yang cukup untuk dicerna membuat aku merasa lambungku mulai terkikis dan sakit. yah, tak asing lagi aku merasakan maag seperti biasanya.
“makan! Makan!” terus saja dia berbunyi nyaring minta makan.
Aku tak mungkin melanjutkan perjalanan. Aku putuskan untuk berhenti sejenak di warung tenda kaki lima di pinggir jalan, berusaha mencari makan seadanya untuk sekedar mengganjal perutku yang sudah berisik sejak tadi.
Selang beberapa menit kemudian datanglah sebuah keluarga kecil yang aku rasa juga bertujuan sama dengan diriku. Mereka menggunakan kendaraan berwujud gerobak tua yang berwajahkan besi yang mulai berkarat. Seorang bapak tua, ibu, dan gadis kecil mereka.
Awalnya tak ada yang aneh, semua biasa saja. Bapak paruh baya itu lalu memesan 2 piring nasi putih dan sebuah ayam goreng.
Aku berusaha berkonsentrasi menikmati seporsi lalapan ayam yang sudah tersaji di hadapanku. Tetapi kemudian saat aku melirik sedikit ke arah keluarga itu, aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku. Makan malam yang dipesan bapak itu hanya dimakan oleh isteri dan anaknya. Mereka berdua membagi sepotong ayam goreng bersama-sama sementara sang ayah hanya memandangi mereka. Terpancarkan kebahagiaan dari balik wajah tua yang terlihat kelelahan itu saat memandangi gadis kecilnya sedang menyantap nasi putih dan ayam gorengnya dengan lahap dan bersemangat.
“makan yang banyak ya sayang, biar kenyang. Kan hari ini hari kelahiranmu” Bapak itu berbisik pelan dan lalu mengusap pelan rambut gadis kecilnya yang terlihat sedikit merah dan gimbal.
Aku lalu terharu mendengarnya. Seorang bapak dengan segala keterbatasannya membeli ayam goreng di warung tenda pinggir jalan sebagai hadiah ulang tahun anaknya.
Rasanya air mata ingin mengalir seketika. Namun sebelum itu terjadi, aku segera berdiri dan membayar seporsi lalapan ayam beserta es teh sebagai pesananku tadi.
            “Mas tagihan bapak itu biar sekalian aku yang bayar. Tolong tambahkan ayam dan tempenya sekalian” Aku sedikit menengadah dan berbisik ke arah penjualnya, membayar semua, dan bergegeas pergi.
Hujan nampaknya sudah mulai reda. Di sepanjang perjalanan aku masih terbayang-bayang wajah mereka, masih mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Sebuah pelajaran kecil yang menyentuh hati bahwa sesuatu yang seseorang anggap biasa saja bisa jadi merupakan sesuatu yang mewah bagi orng lain.
Seperti itulah pelajaran yang dapat diambil dari warung tenda pinggir jalan. Syukuri apa yang kita miliki, apa yang dapat kita peroleh saat ini karena belum tentu orang lain mampu mendapatkan seperti apa yang kita dapatkan.

0 comments:

Surat Untuk Bidadariku yang Berhati Mulia

7:40 PM Niluh Ayu Mutiara Ariyanti 0 Comments

Dear mama, yang bagiku masih tetap cantik hati dan parasnya…


 Ma coba lihat aku sekarang, gadis kecilmu dulu. Aku sekarang sudah mulai beranjak remaja. Aku sekarang sudah berseragam putih abu-abu. Aku tidak lagi kecil seperti dulu. Aku tidak lagi bagai katak di dalam tempurung.

Ma, kenapa dunia begitu jahat? Saat aku bersama mama dan papa dunia tak terlalu mengekangku. Waktu masih memanjakanku dan masih mau ku ajak bermain. Tetapi setelah aku tak lagi bersama mama dan papa dunia kini berubah total. Dia seperti bermuka dua ma! Dia tak lagi baik seperti dulu. Ma, dunia kini mulai menunjukkan kekuatannya padaku. Dunia kini semakin jahat dengan segala problematika yang ada. Waktu kini tak lagi ingin bermain. Dia justru selalu mengejarku untuk melakukan segala hal yang lebih rumit dalam frekuensi banyak dan rasanya hanya ada sedikit waktu untuk beristirahat.

Ma aku sadar bahwa semakin besar diriku maka semakin banyak tantangan hidup yang akan aku hadapi. Aku tau doa mama dan papa akan selalu menyertai aku untuk menapakkan kaki di luar sini.

Terkadang aku rindu dengan rumah kita. Aku rindu berlindung dibalik mama dan papa saat aku mendapat masalah, seperti saat aku masih berseragam merah putih. Aku rindu menangis dipelukan mama, merangkul mama, memeluk dan mencium pipi mama. Aku rindu saat mama mengatakan “semua akan baik-baik saja” dan lalu membelai rambut dan mencium keningku, secara langsung.

Ma, aku sekarang jauh.. jauh sekali ma. Aku kini tak lagi hidup dan menghabiskan wkatu bersama keluarga kita. Saat aku membuka mata hingga tertidur kembali bukan mama ataupun papa serta kedua adikku yang aku temui. Aku selalu melihat orang lain yang berputar-putar dalam siklus hidupku sehari-hari. Orang lain yang sama sekali tak ada hubungan darah dengan diriku.

Ma aku takut. Sedikit lagi insyaallah aku akan menamatkan sekolahku di sini. Aku tidak lagi hidup di asrama, aku pergi ma. Tapi bagaimana jika selanjutnya aku melanjutkan pendidikanku lebih jauh daripada jarak kita sekarang? Bagaimana jika dunia semakin menjadi-jadi? Bagaimana jika dunia di luar sana memusuhiku? Permasalahan yang akan aku hadapi nanti tak akan lagi sama. Segala perkataan akan selalu dimintai pertanggung jawaban.

Ma aku kangen mama. Aku kangen masa kecilku yang dulu. Aku kangen tertidur dipangkuan mama. Aku kangen dibangunkan di pagi hari, dibuatkan segelas susu hangat, disiapkan baju sekolahnya, di antar sekolah, danberbagai hal yang sering mama lakukan untukku dulu. Aku kangen saat mama membacakan pelajaran yang akan aku ujiankan dikesokan harinya seperti dulu. Aku kangen saat mama rela begadang bersamaku dan menemaniku belajar hingga kita tertidur bersama-sama seperti dulu.

Jika sekarang kita ulangi hal seperti itu bolehkan ma? Tapi tidakkah itu sangat lucu? Bahkan jika benar-benar terjadi aku rasa tak akan sama, dan lagi, waktu tak akan memberikan kesempatan. Waktu akan tertawa terbahak-bahak dan berkata “tidak kah kamu sadar bahwa kamu sudah besar? Mau bertingkah seperti itu sampai kapan?”

Benar saja ma, terkadang tidak semua hal mampu kita ulangi, walaupun hanya berupa hal-hal kecil saja. Iya mungkin bisa, tapi tidak akan lagi sama. Aku merindukan semuanya. Semua tentang keluarga kecil kita. Aku ingin lebih banyak waktu yang kita habiskan bersama, lebih banyak! Sebelum aku menjadi “benar-benar” dewasa. Sebelum waktu memaksaku untuk hidup sendirian di dunia yang jahat ini. Sebelum semua berubah total.


With Love,


Anak gadismu yang sedang beranjak dewasa.

0 comments:

KETIKA DIA YANG AKU HARAPKAN UNTUK MASA DEPANKU, TERNYATA BUKAN DIA

8:28 PM Niluh Ayu Mutiara Ariyanti 3 Comments

Alhamdulillah cerpen ini masuk dalam 10 Nominasi Cerpen Terbaik Bulan Agustus 2013 :)

Happy Reading!

___________________________________________________________________________________



KANVAS KEHIDUPAN
KETIKA DIA YANG AKU HARAPKAN UNTUK MASA DEPANKU, TERNYATA BUKAN DIA

Karya :Niluh Ayu Mutiara Ariyanti

Di atas gundukan tanah merah tawa kita merekah. Dulu kita bahagia bersama, menghabiskan masa sebelum kita benar-benar serius ingin menggapai asa. Dulu berlarian tanpa alas kaki dan merebah pada lempeng bumi yang beratap langit biru adalah kegemaran kita. Aku tak pernah mengeluh atas kesederhanaan hidup yang kita jalani. Aku selalu mengingat setiap ucapan polos penuh makna mu yang memotivasiku “kita akan sulit bahagia jika kita juga sulit bersyukur”. Darimu aku belajar banyak.
Dulu tanganmu tak sungkan menggengam pada sela-sela jemariku saat diri ini tak mampu lagi mendaki. Dulu pundakmu begitu kuat menggendongku di saat aku kelelahan untuk berjalan dan kembali pulang. Dulu kamu selalu melindungiku. Sosok perkasamu tak pernah aku lupa. Kamulah pembela dari segala kegaduhan dan kejahilan anak-anak nakal yang mengusiliku. Hal lain yang aku senangi dari dirimu yaitu kamu tak pernah sombong atas kepintaran yang kamu miliki. Tak pernah malas dan angkuh dalam mengajari ulang aku setiap pelajaran IPA dan matematika yang diajari ibu guru di sekolah. Betapa itu pelajaran yang susah namun rasanya begitu mudah bagimu. Aku selalu merasa nyaman saat berada di dekatmu, dalam segala kondisi, dalam setiap keadaan. Aku bahagia.
Pernah ingat harapan dan keinginan kita? Mungkin ini hanyalah sebuah angan, namun bagaikan ikrar kita berdua yang terlontar saat kita duduk bersama di atas bukit yang menghijau. Kamu dan aku pernah punya cita-cita, kita berdua ingin menjadi dokter. Dulu kita ingin mengelilingi dunia. Dulu terselip keinginan kita untuk pergi ke negeri cokelat. Dulu kita pernah memiliki mimpi untuk membangun sebuah kerajaan. Kamulah rajanya dan aku sebagai sang ratu. Masih ada lagi berjuta harapan yang pernah kita rangkai bersama, terkandung dan diam bersahaja dalam sebuah rantai impian.
Aku dan kamu, kita selalu bahagia. Dalam canda kuselipkan cinta diam-diam. Cinta tak berucap yang aku harap dapat terbalaskan. Walaupun aku tak tau pasti kapan itu akan terjadi.
Suatu hari, aku menemukanmu sedang duduk tersenyum di bawah pohon apel.
“Aditya, kamu kok senyum-senyum sendiri?” aku mendekatimu, lalu duduk tepat disampingmu.
Melihat kedatanganku, kamu tiba-tiba saja memelukku, begitu erat sehingga aku sedikit sulit untuk bernapas. Tapi itu menyenangkan. Kamu lalu menunjukan sebuah lipatan surat putih kepadaku.
            “Apa ini?”
“Buka saja. Sudah lama sekali, dan akhirnya kesampaian juga” kamu lalu tersenyum begitu lebarnya hingga sederet gigi putihmu tergambar indah.
            Kira-kira apa yang membuatmu sebahagia itu? Sebuah surat? Tapi apa isinya? Apakah ini sebuah surat cinta? Apakah ini surat cintamu? Untuk aku? Apakah ini secarik kertas berisikan perasaanmu kepadaku? Aku bertanya pada gerangan.
            Tanganku gemetaran membukanya. Entahlah, aku hanya berharap sesuatu yang baik.
            “Be-beasiswa? Kamu dapat beasiswa!!? Ke l-lua negeri?!!!” Aku berteriak dan tersentak kaget.
            “Iya!!! Sudah lama aku mendambakannya! Aku berhasil Nania! Aku seneng banget!!” Adit lalu melompat dari tempatnya dan memelukku lagi. Namun kali ini lebih erat. Aku lalu membalas pelukan itu.
            Dalam sebuah pelukan kecil aku menangis terharu. Walaupun isinya tak seperti yang aku bayangkan, namun aku sudah benar-benar bahagia dalam keberhasilanya meraih beasiswa ke negeri orang, itu pencapaian yang sangat luar biasa. Aku bahagia dalam bahagianya.
            “Jadi itu berarti kamu akan pergi?” tanyaku memelas.
            “I-iya..” dia sedikit ragu menjawab.
            “Kapan kamu pulang?”
            “Aku tak tau, mungkin 4 tahun lagi”
            “Mengapa begitu lama?” aku sedikit menggigit bibirku
            “Karena kita membutuhkan waktu yang lama untuk belajar”
            “Tapi kamu tetap akan kembali ke sini kan?”
            “Iya aku janji” dia lalu mengangkat kelingkingnya, demikian hal nya dengan aku. Kami berjanji kala itu. Untuk kembali ke tanah ini, sekitar 4 tahun lagi.
Dalam bahagia akupun bersedih. Aku berusaha menghilang dari perasaan yang mulai menggelitik semakin merajam. Namun semakin lama justru aku semakin sulit tuk bernapas dan bergerak dalam ruang hati yang terkunci oleh cinta yang bersembunyi.
Diam-diam aku menyukaimu. Entahlah, apakah sama halnya dengan dirimu ataukah justru sebaliknya? Kamu pernah berkata padaku “Kamu boleh kok anggap aku sebagai kakak kandungmu sendiri, walaupun umur kita sama”. Tapi bagiamana jika aku menganggapmu lebih? Bolehkah? Jika tidak boleh, lantas bagaimana jika semuanya telah terlanjur? Aku sudah terlanjur jatuh cinta karena hatimu. Aku selalu ingin berada di dekatmu, selalu.
Cinta itu semakin membesar dan memenuhi seluruh ruang jiwa. Aku tak berani berucap dalam jujur. Walau aku tau dimanapun kita bersembunyi cinta tetap akan menemukan kita. Tapi aku tak berharap cinta akan menemukanmu kala itu. Dan taukah kamu? Aku berhasil, aku memenangkannya! Cintaku berhasil aku sembunyikan. Cinta yang aku milikipun tak mampu menemukanmu. Yah tentu saja karena cinta itu nampaknya tak bisa melangkah sejauh langkahmu meninggalkanku.  
Aku tak pernah bersedih dan menghakimi Tuhan atas perpisahan kita. Aku justru berterimakasih kepada-Nya atas kepintaran yang telah dianugerahkan kepadamu sehingga kamu bisa mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di luar negeri dengan standar mutu yang lebih baik. Hingga saat ini, setelah kamu pergi meninggalkan tempat kita, aku tak pernah tau kejelasan atas perasaanmu kepadaku. Tapi tak apa, aku akan menunggu dengan setia.
***
Setiap malam bintang menghujan langit hitam. Kelap-kelip yang selalu kita lihat bersama kini hanya mampu aku nikmati seorang diri. Aku masih mencintai tanah ini, tempat masa kecil kita yang telah memberikan berjuta kenangan. Setidaknya disinilah Tuhan pernah mempertemukan kita, walaupun di tempat ini pula kita dipisahkan.
Terlalu banyak pertanyaan berputar dan bermuara pada otakku saat ini. Kamulah tersangkanya. Kamu penyebab dari kepusingan dan kegundahan yang selalu aku rasakan. Bagaimana dengan keadaanmu? Seperti apa sekolahmu di sana? Bagaimana dengan teman-teman barumu? Bagaimana dengan hobbymu? Masih samakah? Masih ingat dengan aku? Ah.. mungkin saja kamu sudah lupa. Aku hanya kawan kecilmu yang tidak terlalu istimewa. Aku hanya seorang gadis kecil berkuncir dua yang sulit untuk mengikat tali sepatunya sendiri. Aku hanyalah seorang gadis yang suka ngambek kalau direbut permen lolinya. Aku hanya gadis kecil dengan segala sifat kekanak-kanakannya. Aku hanya gadis kecil yang menyukai warna merah muda dan boneka teddy. Aku adalah seorang gadis kecil yang tak pantas namun telah lancang untuk menyukai … dirimu. Maafkan atas kelancanganku ini.
Aku sempat menduga kamu telah melupakan semuanya, tentang kita dan tempat ini. Aku sempat mengira kejeniusan otakmu telah benar-benar membawamu pada dunia yang berbeda. Dunia tempat tinggalmu, penuh dengan kemudahan teknologi yang berisikan orang-orang brilliant. Duniamu yang baru, aku takut telah mengubah kawan kecilku yang dulu.
Tapi tidak, doktrin dan segala pikiran ngawurku yang sudah telontar sangat jauh ternyata salah. Kamu kembali pulang. Kamu kembali ke tempat kita, sayang. Aku tak ingin melepaskanmu kali ini. Tidak lagi, kamu jangan pergi lagi. Jika kau temui seseorang yang pertama kali menangis disaat kepergianmu, maka itulah aku.
“Kenapa kamu gak bilang-bilang aku dulu kalau kamu mau datang?? Kan biar aku bisa siapin makanan-makanan enak. Aku udah bisa masak loh?” Aku tersenyum lebar, mengacungkan jempol kananku mantap.
“hehehe, aku cuma mau liburan aja. Aku mau memberitahukanmu sesuatu. Yah hitung-hitung mau ngasih surprise aja” Angin berhembus lembut diiringi tawa manisnya yang merekah indah.
“Surprise? Apa itu?”
“Itu artinya kejutan” Jawabnya santai.
“Oh haha. Oke Kejutan. Kamu emang udah bener-bener ngejutin aku banget. Tapi jujur aja aku seneng dengan kehadiranmu” Aku berucap dengan entengnya, tanpa menyembunyikan apapun yang ingin aku katakan.
“Haha.. eh anyway aku mau ngasih tau kamu sesuatu loh? Sesuatu yang special banget!”
“Apa Dit?”
“ada deh, hehe bukan sekarang”
“Ih kamu ini bikin penasaran deh. Kapan dong?”
“um entar deh aku hubungin kamu lagi”
Mungkinkah? Hal yang ingin dia sampaikan padaku itu merupakan jawaban dari penantianku selama ini? Apakah setelah 4 tahun kita dipisahkan Tuhan? Dan inikah hasilnya? Inikah takdirMu Tuhan? Benarkah? Jantungku berpacu kuat, sekuat rusa yang berlari kencang, menghindar dari busur panah.
“Hey Nania, kamu ngelihatin apa sih? Kok bengong gitu tiba-tiba. Haha masih sama aja kayak dulu, sukanya bengong wae” Aditya lalu megacak-acak pelan rambutku, sesuatu yang sangat aku sukai dari dia. aku seperti merasa… di sayang?
“Ah enggak hehe” jemariku mulai memainkan gerakannya, merapikan rambutku yang sedikit berantakan dalam frekuensi tetap selama beberapa detik.
“Oh iya besok pagi aku mau pergi ke air terjun nih”
“Kamu mau ngajakin aku gitu maksudnya? Ya ampun pipiku jadi memerah malu.
“eh, iyah? Sebenarnya.. ada yang ingin aku tunjukan padamu disana
“Ada apa? Kok kamu..”
“ah enggak papa, besok pagi jam 8 aku jemput kamu ya? Aku udah lupa soalnya jalan menuju kesana  makanya kamu ikut aku ya?” Aditya menggaruk pelan kepalanya.
“oke hehe”
Ya Tuhan, aku tidak sabar. Sudah lama aku menanti-nantikan kesempatan seperti ini. Teman kecil yang Engkau pertemukan kembali. Betapa beruntungnya aku.
Langit berangsur-angsur menunjukkan efek tyndal. Warna biru telah tergantikan menjadi orange lalu kemudian hitam memenangkan semuanya, kembali memakan langit dan terselimut gelap malam.
Semalaman aku sulit untuk tertidur. Mengapa jam berputar sangat perlahan? Ayolah! Ingin rasanya aku menendang setiap jarum jam yang bergerak per detiknya. Agar dia semakin cepat! Agar aku bisa beremu Adit lagi, aku kangen ya Tuhan.
Sedikit demi sedikit aku terbuai jauh masuk melampaui batas alam sadar manusia. Aku tertidur.
***
“Nania, kok siap-siapnya lama sekali kamu? Ayo buruan, sudah di tunggu Adit di depan tuh” Bapak berteriak dari arah ruang tamu. Suaranya terdengar dengan sangat jelas sampai di kamar.
            “Iya Pak, bentar lagi Nania keluar kok” Aku berusaha menyahut seruan itu.
“Ah tidak apa-apa kok pak, pelan-pelan saja” Terdengar pelan suara Aditya yang berkata kepada Bapak. Lalu keduanya tertawa.
Aku lalu keluar kamar. Memakai baju short dress biru bermotif bunga-bunga. Tidak, kali ini bajunya tidak seperti anak kecil. Umurku sudah 18 Tahun, tidak lagi berbaju short dress pink dan berkuncir dua.
Kami lalu menaiki mobil Aditya. Sepertinya dia memang telah lupa arah jalan menuju air terjun. Padahal dulu dialah kompasku, penunjuk jalan kemanapun kami ingin bepergian. Yah waktu memang memiliki kemampuan dan kekuatannya sendiri dalam mengubah seseorang, mengubah ingatan, karakter dan pola pikir, apapun itu. Sepertinya sekaranglah giliranku, penunjuk arah ke salah satu tempat favourite kami dulu. Tak heran, memang sudah cukup banyak perubahan di sini, selain akses jalan yang sudah lebih bercabang. Tapi sebenarnya tak jauh berbeda.
Sepanjang perjalanan Aditya memang sibuk menyetir dan bertanya arah padaku. Tapi ada satu hal yang sedikit mengusikku. Dia juga terlihat begitu sibuk dengan hapenya, tertawa dan tak henti mengutak- atik setiap tuts mungil itu menggunakan tangan kanan semntara tangan kirinya tetap menyetir. Aku hanya bertanya – tanya, memangnya hal menarik apa yang ada dalam kotak elektronik kecil itu?
***
“Akhirnya sampai! Kok rasanya jauh ya? Padahal waktu kecil dulu serasa cuma berjalan kaki lima menitan doang hehe” dia menarik napas dalam dan menghembuskan, dalam.
“Haha, itu karena kita menikmati setiap langkah kita dulu. Kita juga menikmati setiap waktu yang berlalu hingga lelah tak pernah terasa begitu nyata” iya, aku memang menikmati semuanya, terutama.. terutama saat bersama kamu Adit. Ah andai kamu tau.
“iya iya mungkin kamu benar. Setuju banget aku” dia tersenyum.
Wajahnya masih sama, tak satupun berbeda kecuali goresan pada lekukan pipinya sedikit lebih banyak dan raut wajah yang telah lebih dewasa.
Dari kejauhan terdengar suara seorang cewek yang memanggil nama Aditya. Nampak seorang cewek yang baru keluar dari sebuah mobil hitam mewah. Cewek itu cantik. Benar-benar bergaya ala cewek metropolitan. Rambutnya sepanjang pinggang, hitam lebat dan sedikit bergelombang. Kulitnya putih dan bersih. Dia memakai celana jeans selutut, kaos putih polos yang dilapisi rompi hitam dan kalung dengan leontin berbentuk hati yang setiap ujungnya seperti dilapisi intan-intan kecil dan di bagian dalamnya terdapat huruf A&N. indah sekali kalung itu. Dia berjalan perlahan, terlihat sangat anggun walaupun dengan style seperti itu di tambah lagi sepatu kets putih di kaki. Dia menggantungkan tas kecil di tangan kirinya lalu menghampiri Adit dan merangkulnya.
Aku tersentak kaget. Berani sekali cewek itu. Apakah dia… ah tidak mungkin. Aku tidak mau berpikir hal-hal yang buruk.
“A-adit..”
“Oh iya Nania, ini Nayla”
“H-hai Nayla. Aku Nania” kami lalu berjabat tangan. Tangannya lembut. Sepertinya dia tak pernah memegang benda kasar, tak mungkin.
Aku masih terpesona padanya. Dia seperti sosok cewek yang, sempurna. Dan jika aku bandingkan dengan diriku, tak mungkin kami sebanding, tak mungkin selevel, tak mungkin sama! Tak mungkin. Aku sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Masalah kecantikan, teralu banyak cewek cantik yang pernah aku lihat di televisi walaupun dia salah satunya. Tapi, mengapa rangkulannya terlihat begitu mesra? Aditya justru membalas untuk merangkul leher panjang dan ‘wah’ nya itu. Aku cemburu! Wajahku memerah! Tidak boleh Adit! Kamu tidak boleh sedekat itu. Setidaknya kamu tidak boleh seperti itu di depanku.
Nania bodoh! Tak tau dirikah kamu? Hah, berani sekali. Memangnya ada hak apa aku ini? Aku bukan siapa-siapanya. Iya! Aku bukan siapa-siapa kamu Adit! Aku aku tak tau diri! Tapi sakit… sakit sekali.
“Nania, ada apa?” Adit menaikkan alis kanannya, memperhatikanku.
“A-ah eng-enggak kok” aku menunduk.
“Ini dia surprise yang aku maksudkan” Adit menepuk pelan pundak cewek yang bernama Nayla itu.
“Aku tunangan Adit” Nayla menggoreskan senyuman manis di bibirnya yang tipis dan berwarna merah muda.
Rasanya jantungku seperti berhenti berdetak. Dadaku berhenti kembang-kempis. Bola mataku hampir meloncat keluar. Lidahku kaku. Tanganku membeku. Tubuhku tak serasa lumpuh!
            “Ja-jadi kejutannya…”
“iya tanggal 23 November nanti kami akan menikah. Aku ingin memperkenalkan seluruh kehidupanku dulu kepada dirinya” katanya. “Termaksud kampung halamanku, dan kamu. Pokonya semua masa kecil dan hal-hal yang mencangkup tentang aku deh! Hehe” dia lalu tertawa.
Masa lalumu. Iya benar, aku memang hanya sampah masa lalumu. Dalam tawa yang sedang menghiasi wajahmu, aku menangis. Tak ada lagi kisah indah yang aku bayangkan akan terjadi setelah kedatanganmu. Tak mungkin lagi segala hal dan kejadian kita dulu akan terulang.
Kalian lalu bermain air terjun bersama. Setiap air yang menetes, embun yang dihasilkan, tawa yang merekah, bahagia yang terlukis jelas… kalian memang sangat serasi. Aku lebih memilih duduk sendiri. Dari kejauhan aku hanya mampu melihatmu. Dari kejauhan aku hanya mampu memanggil namamu dalam diam. Dari kejauhan aku mampu mencintaimu. Hanya dari kejauhan aku mampu memandangimu. Dari kejauhan aku menangisimu. Dari kejauhan cintaku rasanya telah hanyut. Terbawa air terjun yang jatuh dari ketinggian 20 meter itu.
Tak seorangpun tau aku bersedih. Tak ada yang menyadari aku menangis. Di atas batu besar aku sandarkan kesedihanku sendiri. Percikan air terjun telah menyatu dengan air mataku, tak mungkin ada yang mampu membedakan antara mereka, baguslah. Dalam sedu aku tersenyum saat kau menoleh padaku. Tak maksud aku menghancurkan kebahagiaan kalian. Tidak. Mencintai diam-diam selalu terasa sakit. Apalagi jika orang yang kita cintai tak pernah sadar kalau kita mencintainya dan justru lebih memilih untuk mencintai orang lain. Cinta yang di pendam itu tidak lebih baik, Karena cepat ataupun lambat, cinta itu mampu membunuh mereka yang masih saja memendamnya.
Memendam cinta, sakit bukan main. Rasanya hatiku hancur berkeping-keping. Mengapa engkau harus datang lagi? Jika selanjutnya aku tau kau akan pergi dan meminang wanita lain. Mengapa aku harus jatuh cinta padamu? Mengapa aku begitu yakin pada perasaanku bahwa kamulah masa depanku? Padahal bukan! Mengapa kali ini Tuhan memberiku cobaan yang mampu menyayat perasaanku hingga ulu hati? Sakit sekali! Iya sakit! Mengapa aku harus cinta padamu? Jadi sia-siakah penantian panjang yang telah aku lakukan? Hilanglah sudah waktu berhargaku, menunggu sesuatu yang justru menyakitkanku.
Jadi jelas sudah. Aku mengerti rasanya, KETIKA DIA YANG AKU HARAPKAN UNTUK MASA DEPANKU, TERNYATA BUKAN DIA.

3 comments: