SEHARUSNYA TUHANKU, BUKAN KAMU!
SEHARUSNYA TUHANKU, BUKAN KAMU!
Written By : Niluh Ayu Mutiara
Ariyanti
Jemari
tangan Aisyah masih menari diatas tuts-tuts piano tua itu. Menebarkan jutaan
nada yang berdenting halus memukau jiwa. Dia masih asyik memanjakan hasratnya,
terbelenggu dalam lantunan melody yang terangkai merdu. Dia masih sibuk disana,
menghabiskan waktu untuk bermain alat musik kegemarannya.
Nampaknya
lantunan melody piano berhasil memenangkan pendengarannya. Aisyah kini tak
menyadari handphone nya telah ribut berkicau cukup lama. Setelah cukup puas
bermain, Aisyah lalu memilih untuk menyudahi konser kecilnya. Betapa lelah
otot-otot serta jemari mungil itu. Sambil berelaksasi, dia memalingkan wajah
dan seketika menyadari bahwa dirinya baru saja mendapatkan mini heart attack.
Dengan
segera dia beranjak dari kursi kecil itu. Diraihnya sebuah handphone yang
sedari tadi terkapar dan teracuhkan di atas sofa. Dengan hati penuh kecemasan,
Aisyah membuka gadget mungilnya dan
mendapati beberapa unread messages
serta missed calls dari Nanda sang
kekasih. Kini perasaannya semakin tak tenang.
Benar
saja, semua pesan yang dibaca dengan perasaan was-was dan takut itu kini
menjelaskan secara terang benderang.
Seperti biasanya, Nanda mulai berkicau panjang lebar, marah-marah dan
banyak meletakkan tanda seru disetiap kalimat yang dituliskannya.
Ya,
Aisyah tak begitu terkejut mendapati dirinya dibantai habis-habisan dengan
kalimat yang tidak enak. Dia tau betul sifat pacarnya itu, yang selalu
marah-marah jika smsya lambat dibalas, telponnya tak kunjung diangkat, mention
twitter tenggelam, atau jika Aisyah sedang sibuk melakukan sesuatu sehingga
dianggap tidak perhatian dan melupakannya. Memang ini terlihat sangat complicated, tetapi gadis ini masih
bersabar. Telapak tangannya lalu diusapkan lembut didada. Dia tidak mau
ikut-ikutan tersulut emosi. Ya, setidaknya hanya untuk mendinginkan suasana
kala itu. Tidak ada guna berkelahi, pikirnya.
***
Jalan
raya itu kini semakin ramai. Berisikan insan yang hendak kembali ke rumah
setelah lelah beraktivitas seharian. Tergambar jelas pergulatan antara mobil
dan motor kala itu. Saling bersaing menebarkan polusi udara dimana-mana.
Nanda
mulai mengerutkan dahinya. Berulang kali menerobos pandang ke arah luar dari balik
kaca jendela sebuah café. Dia memang sengaja memilih tempat di pojokan, tepat
menghadap kaca jendela berukuran sekitar 3x2 meter yang berornamen kupu-kupu.
Satu-satunya alasan yaitu karena tempat itu dirasa sangat strategis untuk
segera menangkap bayangan orang yang ditunggunya jika telah tiba nanti.
Berulang kali Nanda mengganti posisi duduk sembari meremas-remas jemarinya
dengan gelisah. Memang hal menyebalkan apalagi yang sedang dilakukannya selain
menunggu Aisyah?
Tak
berapa lama kemudian sang gadis yang ditunggupun akhirnya datang. Tersirat jelas
raut wajah Aisyah yang gelisah, jauh lebih gelisah daripada sosok dihadapannya
itu. Dia tau pasti Nanda akan marah dan ngomel-ngomel lagi.
“Kenapa lama
sekali sih!” Nanda memulai pembicaraan dengan nada ketus. Tentu saja itu bukan
cara memulai pembicaraan yang baik, apalagi kepada seorang wanita.
“A-aku baru
pulang kuliah” Dengan gugup Aisyah lalu mengambil tempat tepat didepannya.
“Bukannya kamu
sudah keluar dari setengah jam yang lalu? Naik taksi kesini butuh waktu selama
itu ya?” Nanda berbicara seolah menyudutkan posisi gadis yang sedang duduk
tepat dihadapannya.
“Ya kamu sabar
dong. Kan aku pulang juga gak langsung buru-buru naik taksi” Aisyah berusaha
menjelaskan dengan tenang.
“Iya, kan
masih asyik cerita dengan teman-teman cowok kamu hahaha” Nanda mulai menyindir
lagi. “Tega banget ya, sudah tau kita udah janjian ketemu, eh kamu malah
sengaja biarin aku nunggu lama”
“Ya ampun
Nanda, bukan begitu. Ah mau dijelasin kayak apa juga pasti kamu tetap bakal
marah dan gak percaya kan. Ya udah maaf” Gadis itu tertunduk, mengepalkan kedua
tangannya erat-erat. Dia sungguh kecewa dengan sikap pacarnya barusan.
Aisyah
kini menjadi serba salah. Dia kebingungan merangkai kata untuk menjelaskan
semuanya. Karena dia tau apapun dan bagaimanapun penjelasan yang diberikan,
ujung-ujungnya dia tetap akan menjadi kambing hitam yang selalu terpojokkan dan
tidak memiliki hak untuk membela diri. Mengapa semua menjadi serumit ini?
“Ya udahlah
kita lupain aja masalah itu. Yang penting sekarang kamu sudah datang” Seperti
ada sedikit cahaya di mata Aisyah ketika mendengarnya. Akhirnya Nanda sudah
tidak mempermasalahkan hal tadi lagi. Gadis bermata cokelat itu kini bisa
sedikit bernapas lega.
“sekarang ini
aku mau certain ke kamu tentang temen kerja aku di kantor. Dia itu sangat menyebalkan!”
Nanda seperti robot yang sudah di setting
untuk selalu marah. Baru saja satu masalah terselesaikan kini ada saja masalah
baru yang muncul. Aisyah tau hal apa yang harus dilakukannya sehabis ini.
Seperti biasa dia hanya harus ‘mematung’. Ya, layaknya boneka yang hanya
disuruh diam mendengarkan keluh kesah si pemilik tanpa berucap apapun. Seperti
mainan pelampiasan emosi.
Tentu
saja mood Aisyah jadi berubah total.
Dia capek-capke pulang kuliah hanya untuk mendengarkan cerita gak penting cowok
itu? Aisyah tertunduk lagi, matanya sayu. Sabar Aisyah, sabar saja dulu. Batin
Aisyah menjerit-jerit. Nanda ternyata cukup peka dalam melihat perubahan mimik
wajah kekasihnya. Tetapi bukan hanya itu, perhatiannya kini lebih tertuju pada
kedua kelopak mata Aisyah.
“Hey tunggu
dulu, apa itu di mata kamu?” Nanda mulai memicingkan kedua bola matanya.
“Apa? Oh ini eye liner. Memangnya kenapa?”
“Kamu kok
tumben pakai kayak gituan? Aku gak suka, gak natural! Gak usah ikut-ikutan
teman-teman kamu yang dandanannya menor! Jangan-jangan kamu mau memikat hati
cowok lain!” Nanda melipat kedua tangannya, melotot hingga kedua bola mata nya
hampir melompat keluar beserta saraf-saraf yang timbul di dahinya. Wajahnya
nampak sangat merah seperti tomat yang sudah matang.
“Ya Ampun,
apa-apaan sih kamu ini. Aku pakai ginian aja kamu sampai mikirnya negative
kayak gitu? Kamu tega sekali ngomong seperti itu. Kamu gak pernah mikir
perasaanku Nanda!” Seketika Aisyah shock.
Seperti ada papan kayu besar yang menumbuk dadanya. Lagi-lagi dia salah,
selalu salah.
“Sudahlah
Nanda. Jika kita lanjutkan perbincangan ini, akan ada ratusan lagi topik
perkelahian baru yang kita mulai. Lebih baik aku pulang saja sekarang”
Aisyah
langsung berpaling tanpa menunggu jawaban dari lelaki yang nampak geram
dibelakangnya. Dia memilih untuk tidak menggubris setiap pandangan mata
orang-orang sekitar yang melihat ke arah mereka berdua. Apalagi menggubris
cerocosan penuh amarah sang kekasih. Sungguh tak penting lagi. Saat itu
pikirannya hanya satu, pulang.
***
Aisyah
kini mendapati dirinya sedang duduk di
kursi belakang sebuah angkot tua yang penuh sesak. Irama lagu rock anak muda jaman sekarang sedang
ramai bersenandung memekan telinga. Namun jauh didalam sana, di hati Aisyah,
dia sedang kesepian. Pikirannya campur aduk. Dia masih tidak habis pikir dengan
sikap orang yang disebutnya sebagai kekasih itu. Yang seharusnya mendukungnya
dalam berbagai hal, termaksud kuliah. Tetapi kenyataannya tidak. Dia kini
menjadi lebih risau ketika teringat akan ujian blok yang harus dihadapinya
besok. Namun karena pertemuan tak berarti tadi, waktu belajar dan pikirannya
harus tersita. Otaknya kini sudah lelah. Batinnya terselimuti oleh gundah.
Sore
itu awan mulai bergeser merebut posisi matahari. Menutupi bola api raksasa sehingga
menaburkan eksotika warna jingga di langit. Ah, efek tyndal memang selalu
cantik. Tergambar jelas lukisan Tuhan yang mampu mempesona setiap pasang bola
mata. Subhanallah, Sunggu indah ciptaanMu ya Rabb, Tuhan semesta alam.
Terdengar
pelan suara langkah kaki Aisyah yang menginjak kerikil-kerikil kecil sepanjang
menelusuri sebuah jalan setapak menuju tempat untuk pulang, rumah. Dia sedang
galau. Seperti sesuatu yang teramat berat sedang ditopang batinnya. Beribu kali
segala pikiran-pikiran buruk coba dihempaskan, tetapi nyatanya tak bisa. Segala
hal buruk yang terjadi telah sukses menggerogoti semua memorinya hingga habis
sudah segala yang baik di sana.
Dia
menjadi lebih sakit hati ketika mengingat saat dirinya dituduh selingkuh dengan
teman sekelasnya hanya karena terpaksa menerima ajakan temannya untuk diantar
pulang. Menerima tawaran itu bukan tanpa alasan. Saat itu semua tugas kelompok
baru saja terselesaikan di saat hari telah cukup larut dan akan bahaya jika dia
naik taksi sendiri malam-malam. Sekalian juga rumah mereka searah. Tetapi Nanda
dengan segala keegoisannya tetap tak mau mengerti. Selalu saja begini.
Aisyah
lalu tersadar dari lamunan masa lalu itu. Dia secara refleks menggoreskan
lekukan tipis di pipi yang disebut senyum. Senyuman itu palsu, tercurah dari
dalam hati yang lebam dan membiru. Ini untuk kesekian kali dia pulang dari
bertemu kekasih dalam keadaan berkelahi.
***
Baru
saja dia sampai di depan rumah dan hendak memegang daun pintu yang berlapis
logam alumunium, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara adzan dari arah barat.
Seketika cairan hangat berwarna bening di pelupuk matanya tumpah, tak mampu
terbendung. Tidak, kali ini Aisyah tak kuat lagi.
“Ya Allah, aku
lelah dengan semua ini. Aku ingin pulang. Aku ingin kembali kepadaMu. Aku telah
pergi terlalu jauh, semakin jauh dariMu” dia kini menjerit dalam hati yang
merana. Namun hanya isak tangis yang mampu terdengar pelan karena berusaha
ditahan.
Sejujur
tubuhnya terasa lemas. Kepalanya pusing, telapak tangannya terasa dingin. Dia
lalu mengambil beberapa langkah gontai menuju kamar mandi.
Gemericik
air mulai terdengar. Air wudhu itu kini mengalir membasahi tubuh Aisyah. Kening
yang lama tak mencium sajadah kini mulai sujud menyembah Allah. Di saat seperti
ini tubuhnya terasa kaku. Dirinya terasa bagaikan debu.
Ya
Tuhanku, aku bukan siapa-siapa di mataMu. Bisikan itu terdengar jauh dari dalam
hatinya. Ya, suara hati yang sekian lama tak pernah berucap. Dia kini
bercerita, mengadu, berkeluh kesah kepada Tuhan-nya, Allah. Sajadah itu kini
mulai basah karena air mata Aisyah yang tumpah. Dia kini terisak, menangis,
tersedu-sedu.
Segala
memori silam seperti terputar kembali. Flashback
tentang semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Dia kembali teringat di masa
saat Nanda belum membubuhkan benih-benih yang disebut cinta. Dia teringat saat
dirinya bebas bergaul dengan siapa saja. Dia teringat saat warna merah muda dan
film Barbie menjadi kesukaannya. Walaupun itu terlalu kekanak-kanakan. Bukan
seperti dirinya saat ini yang ‘terpaksa’ menyukai warna biru dan segala jenis
film action yang menurutnya sama
sekali tak ada bagus-bagusnya. Dia juga teringat saat IPK di atas 3 selalu
menjadi nilai akhir di setiap semesternya. Tetapi sekarang? Nilainya sungguh
merosot tajam. Semua hal baik dimasa lalu harus dibiarkan padam hanya demi
sesosok lelaki tampan.
Aisyah
kini menangis sejadi-jadinya ketika mengingat semua hal buruk yang menimpa
hidupnya. Jadi ini salah siapa? Dia kini menyadari bahwa kehadiran Nanda hanya
akan memperburuk keadaan, hanya akan menghambat masa depan. Bahkan dialah
tersangka dari semua ini. Aisyah menyadari ini tak sebanding. Antara apa yang
dia berikan dan yang justru dia dapatkan.
Tiba-tiba
suara hatinya terdengar. Berontak, menjerit dalam diam. “Aku harus berubah! Aku
harus kembali seperti Aisyah yang dulu” dan saat itu, di satu waktu, Allah
masih setia mendengarkannya mengadu.
“Apa yang
pantas aku pertahankan dari pacar posesif kayak gitu? Aku merasa bodoh sekali
selama ini. Mau dijadikan manekin yang harus selalu patuh dengan segala
perintah. Padahal dia sama sekali tidak menyumbangkan hal baik dalam hidupku.
Hanya cinta semu yang justru menghanyutkan. Hanya menggantungkan asa yang kini
remuk tak berbentuk”
Aisyah
seperti sedang menasehati diri sendiri. Menyadari apa yang selama ini
dilakukannya salah. Menyadari bahwa cinta bukan semata mengikuti kemauan si
dia. bukan juga menjadi orang lain dan rela kehilangan jati diri.
“Aku harus
berubah. Layaknya sebuah ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.
Kenangan-kenangan masa indahku yang sempat terkubur harus aku gali kembali.
Jati diri yang sempat hilang harus aku raih lagi. Masa lalu yang kelam bersama
lelaki itu harus segera aku tinggalkan. Karena cinta seharusnya saling
mendukung, bukan semata mengikuti kemauan salah satu pihak dan mengekang yang
lainnya. Sama sekali bukan simbiosis parasitisme melainkan mutualisme” seperti
mendapat semangat baru. Kini Aisyah tau bahwa dirinya yang dulu telah kembali,
bahkan bermetamorfosis menjadi pribadi yang lebih kuat dan tegar untuk memperbaiki
diri dan belajar dari masa lalu yang kelabu.
***
Ketika kamu merasa tak ada seorangpun yang mau mendengarkanmu
Sesungguhnya Allah adalah tempat terbaik untuk mengadu
Ketika kamu merasa tak ada lagi tempat untuk pulang
Sesungguhnya Allah akan selalu senang menerima dirimu untuk kembali
datang
Ketika kamu merasa masalah sangat menyiksa
Sesungguhnya Allah akan selalu menjamah setiap doa hambaNya
Bagi mereka yang mau menengadahkan tangan, mengikhlaskan jiwa, untuk
mendekatkan diri pada sang Pencipta.
Kedua
telapak tangan Aisyah yang sedari tadi menengadah ke langit tuk memohon kepada sang Khaliq, mulai diusapkan ke
wajah sambil berkata ‘amin’.
Dia
tau, kini pemikirannya telah kembali jernih. Perempuan itu lalu tersenyum
bahagia dan berterima kasih kepada Tuhan-nya, Allah SWT, sang maha penyayang
atas segalanya. Dia sekarang merasa jauh lebih tenang.
Seharusnya
pinta Tuhanmu-lah yang selalu kamu turuti. Bukan malah kekasih duniawi yang
diijinkanNya untuk mengisi hidupmu saat ini. Ingatlah ungkapan klise yang mengatakan ‘Pacarmu belum tentu Jodohmu’
***
11 comments: