Pelajaran Dari Sebuah Warung Pinggir Jalan

2:29 PM Niluh Ayu Mutiara Ariyanti 0 Comments


Awan hitam semakin menebal. Bahkan langit semakin gelap terasa. Cahaya dan sorot lampu jalan mulai remang-remang terlihat. Kabut mulai menutup pandang. Rintikan hujan kini semakin deras menghujam.
“tak ada waktu lagi untuk berteduh, aku harus segera pulang” aku berkata pada diriku sendiri sambil menengok kecil ke arah jam tangan silver yang melingkar indah di pergelangan tangan. Jarum jam telah menunjukkan pukul 10 malam.
Aku berlari mengejar waktu. Aku bertarung menghadapi dinginnya malam dan derasnya hujan yang sedang aku terobos, bermodalkan tekat yang bisa dibilang nekat. Tempat tujuanku masih lumayan jauh. Keinginan untuk melanjutkan perjalanan rasanya sedikit terkurungkan. Perutku mulai tak mau di ajak kompromi, bahkan di saat penting dan genting seperti ini dia tetap saja egois meminta makan. Asam lambungku semakin banyak.
Sudah terjadi begitu banyak proses di dalam lambungku. Hcl berlebih nampaknya sudah naik ke esophagus sebagai penghubung antara kerongkongan dan lambung. Terlalu banyak asam lambung yang dihasilkan tanpa adanya asupan makanan yang cukup untuk dicerna membuat aku merasa lambungku mulai terkikis dan sakit. yah, tak asing lagi aku merasakan maag seperti biasanya.
“makan! Makan!” terus saja dia berbunyi nyaring minta makan.
Aku tak mungkin melanjutkan perjalanan. Aku putuskan untuk berhenti sejenak di warung tenda kaki lima di pinggir jalan, berusaha mencari makan seadanya untuk sekedar mengganjal perutku yang sudah berisik sejak tadi.
Selang beberapa menit kemudian datanglah sebuah keluarga kecil yang aku rasa juga bertujuan sama dengan diriku. Mereka menggunakan kendaraan berwujud gerobak tua yang berwajahkan besi yang mulai berkarat. Seorang bapak tua, ibu, dan gadis kecil mereka.
Awalnya tak ada yang aneh, semua biasa saja. Bapak paruh baya itu lalu memesan 2 piring nasi putih dan sebuah ayam goreng.
Aku berusaha berkonsentrasi menikmati seporsi lalapan ayam yang sudah tersaji di hadapanku. Tetapi kemudian saat aku melirik sedikit ke arah keluarga itu, aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku. Makan malam yang dipesan bapak itu hanya dimakan oleh isteri dan anaknya. Mereka berdua membagi sepotong ayam goreng bersama-sama sementara sang ayah hanya memandangi mereka. Terpancarkan kebahagiaan dari balik wajah tua yang terlihat kelelahan itu saat memandangi gadis kecilnya sedang menyantap nasi putih dan ayam gorengnya dengan lahap dan bersemangat.
“makan yang banyak ya sayang, biar kenyang. Kan hari ini hari kelahiranmu” Bapak itu berbisik pelan dan lalu mengusap pelan rambut gadis kecilnya yang terlihat sedikit merah dan gimbal.
Aku lalu terharu mendengarnya. Seorang bapak dengan segala keterbatasannya membeli ayam goreng di warung tenda pinggir jalan sebagai hadiah ulang tahun anaknya.
Rasanya air mata ingin mengalir seketika. Namun sebelum itu terjadi, aku segera berdiri dan membayar seporsi lalapan ayam beserta es teh sebagai pesananku tadi.
            “Mas tagihan bapak itu biar sekalian aku yang bayar. Tolong tambahkan ayam dan tempenya sekalian” Aku sedikit menengadah dan berbisik ke arah penjualnya, membayar semua, dan bergegeas pergi.
Hujan nampaknya sudah mulai reda. Di sepanjang perjalanan aku masih terbayang-bayang wajah mereka, masih mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Sebuah pelajaran kecil yang menyentuh hati bahwa sesuatu yang seseorang anggap biasa saja bisa jadi merupakan sesuatu yang mewah bagi orng lain.
Seperti itulah pelajaran yang dapat diambil dari warung tenda pinggir jalan. Syukuri apa yang kita miliki, apa yang dapat kita peroleh saat ini karena belum tentu orang lain mampu mendapatkan seperti apa yang kita dapatkan.

You Might Also Like

0 comments: