Pelajaran Dari Sebuah Warung Pinggir Jalan
Awan hitam semakin menebal. Bahkan langit
semakin gelap terasa. Cahaya dan sorot lampu jalan mulai remang-remang
terlihat. Kabut mulai menutup pandang. Rintikan hujan kini semakin deras
menghujam.
“tak ada waktu lagi untuk berteduh, aku harus
segera pulang” aku berkata pada diriku sendiri sambil menengok kecil ke arah
jam tangan silver yang melingkar indah di pergelangan tangan. Jarum jam telah
menunjukkan pukul 10 malam.
Aku berlari mengejar waktu. Aku bertarung
menghadapi dinginnya malam dan derasnya hujan yang sedang aku terobos,
bermodalkan tekat yang bisa dibilang nekat. Tempat tujuanku masih lumayan jauh.
Keinginan untuk melanjutkan perjalanan rasanya sedikit terkurungkan. Perutku
mulai tak mau di ajak kompromi, bahkan di saat penting dan genting seperti ini
dia tetap saja egois meminta makan. Asam lambungku semakin banyak.
Sudah terjadi begitu banyak proses di dalam
lambungku. Hcl berlebih nampaknya sudah naik ke esophagus sebagai penghubung antara kerongkongan dan lambung. Terlalu banyak asam lambung yang dihasilkan tanpa
adanya asupan makanan yang cukup untuk dicerna membuat aku merasa lambungku mulai terkikis dan sakit. yah, tak asing lagi aku merasakan maag seperti biasanya.
“makan! Makan!” terus saja dia berbunyi
nyaring minta makan.
Aku tak mungkin melanjutkan perjalanan. Aku
putuskan untuk berhenti sejenak di warung tenda kaki lima di pinggir jalan,
berusaha mencari makan seadanya untuk sekedar mengganjal perutku yang sudah berisik
sejak tadi.
Selang beberapa menit kemudian datanglah
sebuah keluarga kecil yang aku rasa juga bertujuan sama dengan diriku. Mereka
menggunakan kendaraan berwujud gerobak tua yang berwajahkan besi yang mulai
berkarat. Seorang bapak tua, ibu, dan gadis kecil mereka.
Awalnya tak ada yang aneh, semua biasa saja.
Bapak paruh baya itu lalu memesan 2 piring nasi putih dan sebuah ayam goreng.
Aku berusaha berkonsentrasi menikmati seporsi
lalapan ayam yang sudah tersaji di hadapanku. Tetapi kemudian saat aku melirik
sedikit ke arah keluarga itu, aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku.
Makan malam yang dipesan bapak itu hanya dimakan oleh isteri dan anaknya.
Mereka berdua membagi sepotong ayam goreng bersama-sama sementara sang ayah
hanya memandangi mereka. Terpancarkan kebahagiaan dari balik wajah tua yang
terlihat kelelahan itu saat memandangi gadis kecilnya sedang menyantap nasi
putih dan ayam gorengnya dengan lahap dan bersemangat.
“makan yang banyak ya sayang, biar kenyang.
Kan hari ini hari kelahiranmu” Bapak itu berbisik pelan dan lalu mengusap pelan
rambut gadis kecilnya yang terlihat sedikit merah dan gimbal.
Aku lalu terharu mendengarnya. Seorang bapak
dengan segala keterbatasannya membeli ayam goreng di warung tenda pinggir jalan
sebagai hadiah ulang tahun anaknya.
Rasanya air mata ingin mengalir seketika.
Namun sebelum itu terjadi, aku segera berdiri dan membayar seporsi lalapan ayam
beserta es teh sebagai pesananku tadi.
“Mas
tagihan bapak itu biar sekalian aku yang bayar. Tolong tambahkan ayam dan
tempenya sekalian” Aku sedikit menengadah dan berbisik ke arah penjualnya,
membayar semua, dan bergegeas pergi.
Hujan nampaknya sudah mulai reda. Di sepanjang
perjalanan aku masih terbayang-bayang wajah mereka, masih mengingat kejadian
yang baru saja terjadi. Sebuah pelajaran kecil yang menyentuh hati bahwa
sesuatu yang seseorang anggap biasa saja bisa jadi merupakan sesuatu yang mewah
bagi orng lain.
Seperti itulah pelajaran yang dapat diambil
dari warung tenda pinggir jalan. Syukuri apa yang kita miliki, apa yang dapat
kita peroleh saat ini karena belum tentu orang lain mampu mendapatkan seperti
apa yang kita dapatkan.
0 comments: