Melody Kematian Sang Piano Senja (complete)
Melody Kematian Sang Piano Senja
“Ketika bola mata melihat DARAH bercucuran dimana-mana, meninggalkan lukisan KELAM dan luka SAYATAN, merekam suara hati yang TERANIAYA”
PENULIS :
NILUH AYU MUTIARA ARIYANTI
___________________________________________
BAB I
MAWAR BERDARAH
Di malam sunyi nan mencekam, beribu tetes air hujan turun membasahi atap rumah. Terasa nyata hawa dingin menusuk tajam hingga menembus tulang. Di luar sana nampak dengan jelas hembusan angin kencang menggetarkan jendela tua yang usang sehingga tirai-tirai kuning kecokelatan itupun menari perlahan dari balik kacanya. Dengan tatapan kosong dan wajah penuh kehampaan, aku duduk di atas kursi kayu kecilku dan kuletakkan kedua tangan di atas meja biru yang berada tepat menghadap jendela kamar. Cukup lama aku terdiam, lalu tanpa sadar tangan kananku perlahan membuka tirai yang nampak kusam. Tak banyak, hanya sekitar tujuh inci yang bagiku cukup untuk mengintip keluar jalan. Lampu-lampu yang menyala terang kini nampak meredup. Cahayanya bersembunyi di balik kabut hujan yang sedang menangis. Angin berhembus semakin kencang, awan kini semakin kelam.
Jarum jam di sebelahku bergerak sedikit demi sedikit. Aku tolehkan wajah yang pucat pasih ke sudut kanan meja dan aku dapati sebuah kotak musik hitam kecil yang nampak seperti tiruan sebuah piano. Tak begitu jauh dari benda tersebut terlihat sebuah kotak panjang yang hampir mirip seperti tempat pensil kayu. Aku raih kotak itu dan membukannya perlahan. Kotak tersebut berisikan setangkai mawar putih, bunga kesukaan ku dulu namun membekaskan segores luka sayatan hati yang tak dapat tuk di sembuhkan. Aku lalu mengambilnya dengan sangat hati-hati, berharap agar tak ada satupun bagiannya yang rusak. Tak ada seorangpun yang boleh menyentuh bunga itu selain diriku. Tak akan pernah aku maafkan jika ada yang membuat bunga ini menjadi terluka, setidaknya ia telah sangat terluka di saat kejadian maut itu terjadi sehingga mengkibatkan beberapa helai kelopaknya menjadi terlepas.
Aku lalu tenggelam dalam bayang-bayang dirinya yang datang menghantuiku. Aku termenung sembari mengenggam erat mawar putih dan memandang kosong ke arah jalan setapak yang basah akibat guyuran hujan. Sebenarnya warnanya tidak lagi seputih dahulu. Mawar itu telah melayu dan tertinggal bercakan darah pada ke-13 helaian mahkotannya, ke-2 daunnya, dan pada batang. Namun tak lagi tercium bau anyir seiring lamanya waktu berlalu.
Bibir mungilku membeku dan mulai membiru. Tanganku tetap kaku tak bergerak menggengam setangkai mawar. Pipiku yang pucat kini mulai membasah sedikit demi sedikit. Aku tak kuasa menahan tangis, suaraku terdengar miris. Kabut tebal yang membingkai langit malam seolah mendukung perasaan yang tengah aku rasakan. Awan mendung kini tak lagi dapat membendung jutaan perasaan sakit yang aku pendam, tak lagi dapat menahan air mata kepedihan dan keperihan hati kecil yang tersayat dan tergores luka. Petir yang menggelegar di luar sana bahkan tak mampu menggambarkan batinku yang berkecamuk saat menyadari aku telah di tinggalkan sendiri oleh orang yang benar-benar aku cintai, aku sayangi, dan aku butuhkan kehadirannya hingga saat ini. Mataku tak berkedip sesaat namun terus saja memandang hampa hujan tepat di luar jendela. Saat itulah aku kembali mengingat atau lebih tepatnya “mengenang” kenangan yang telah lama aku kubur dalam-dalam.
“Itulah kenangan kita” desisku dalam hati tak berucap. Semua memory kini terputar kembali. Tangisku makin deras. Kotak piano kecilku memainkan alunan lagunya, membawaku terbang mengitari ruang waktu dan kembali pada kenanganku 2 tahun yang lalu. Tepat di malam Valentine ini, di malam ini tragedi kematian dirinya terjadi.
BAB II
MATAHARI TAK PERNAH BERPIHAK
Dia adalah sesosok matahari hatiku. Menyiram hari kelamku dengan cahaya kasih yang sangat deras. Dia adalah satu-satunya cowok special yang mampu merangkulku pergi dari tempat yang menakutkan yaitu hati yang gelap dan selalu kesepian. Dia yang mampu membuatku tersenyum, bukan senyuman palsu seperti yang selalu aku lakukan selama ini. Dia yang menjelaskan banyak hal yang tidak aku ketahui sebelumnya walaupun ia bukanlah guruku yang mengajarkan ilmu tentang dunia sains, sosial ataupun pelajaran lainnya. Namun dari dirinyalah aku banyak belajar tentang apa itu cinta, kasih sayang, pertemanan, kebahagiaan, arti kehidupan, dan semua hal yang bahkan tak pernah aku dapatkan dalam kehidupanku di rumah. Tak perlu kaget dan menghentikan nafas sejenak, aku memang tak pernah sedikitpun merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya di rumahku sendiri. Bahkan aku tak pernah melihat keadaan dimana kedua orang tuaku duduk bersama berbagi cerita dengan anak-anak mereka. Jangankan untuk berpikir sejauh itu, keharmonisan keluargapun tak pernah aku temui di dalam rumahku sendiri. Rumah yang bagi banyak orang merupakan istana mereka, menurutku itu hanya karangan yang terlalu di lebih-lebihkan saja karena di rumah ataupun di mana saja diriku tak pernah merasa nyaman.
Aku tumbuh menjadi gadis yang buta tentang kasih sayang, apalagi masalah percintaan. Aku selalu di anggap sebagai cewek yang tak perduli dengan lingkungan sekitar. Tak jarang teman-teman mengatakan aku pendiam sehingga mereka menjadi enggan untuk sekedar berbicara padaku. Aku tak pernah marah jika orang-orang sekitar mulai menjauhiku. Tentu banyak yang tak suka padaku. Aku selalu memaklumi hal itu karena aku tau ini semua adalah salahku.
Saat mereka berusaha mengajakku berbincang panjang lebar aku hanya menjawab singkat dan jujur saja aku tak pernah tertarik dengan perbincangan mereka. Sebenarnya aku sama sekali tak pelit kata seperti apa yang mereka pikirkan, namun berbicara panjang lebar atau pun singkat toh juga intinya sama saja. Aku lebih suka tertutup, diam, dan berusaha tidak perduli dengan setiap keadaan. Ku pikir jika sekali saja aku perduli maka aku akan semakin mudah untuk tersakiti dan aku tak mau tenggelam lebih dalam pada kepedihan hati. Saat aku terkurung sendiri di dalam ruang hatiku yang bagai penjara, aku merasa tak akan ada gunanya aku bercerita kepada mereka di luar sana. Mereka tak akan pernah mengerti, yang aku temui hanyalah ejekan bahwa aku berasal dari keluarga broken home yang hanya tinggal menunggu waktu untuk pisah ranjang.
Aku pernah mencoba untuk mempercayai seseorang dan mencoba untuk mencari seorang sahabat yang mungkin saja bisa aku jadikan sebagai tempat sampah curhatan dan rongsokan hatiku yang teraniaya. Karena mereka yang mempunyai sahabat bisa berbagi cerita mengenai apa saja yang mereka rasa dan sahabat akan mendengarkan dengan setia, menyimpan rahasia kita, serta memberikan solusinya. Mereka yang mempunyai sahabat juga akan merasa lega di saat cerita hati mereka telah di bagikan kepada orang yang dapat mereka percaya. Setidaknya itu yang aku tau dari hasil bacaan novelku yang segudang, film-film melankolis dan hal-hal entertaiment lain yang banyak menghabiskan waktuku sendiri. Namun mengapa sekali lagi Tuhan tak adil dengan aku? Sekali saja aku berusaha membuka ruang hatiku maka di saat itu aku kembali merasakan sakit yang luar biasa menusuk dada. Sebagai contohnya adalah Risya. Dia adalah seorang teman yang kiranya telah aku berikan kesempatan untuk memasuki hatiku yang kosong. Bukan sebagai pacar, tentu saja aku bukan cewek yang tertarik dengan yang sejenis. Tapi ternyata di justru membuatku tak akan lagi bisa percaya padanya, Not At All.
BAB III
SELOTIP ANYIR MERAH
Pagi beku kini datang lagi. Hujan masih saja asik mengguyur bebatuan bumi sejak malam tadi. Ku buka bingkai jendelaku, memandangi embun-embun pagi yang mencium setiap inci jendela kamar. Lalu jemariku bergerak dan mengukir sebuah tanda yang tak asing untukku. Terlihat samar gambar hati tak sempurna melekat di kaca ber-embun dan pada akhirnya menghilang. Entahlah tak ada makna dan tujuan khusus bagiku untuk melukiskannya. Derasnya hujan ternyata belum cukup kuat untuk membuat keributan di rumah besarku. Aku lalu kaget saat mendengar keributan dari lantai dasar, seperti ada sekelompok orang yang sedang tawuran pikirku. Hm sebenarnya aku tau dan dapat dengan mudah menebak semua hal yang terjadi saat itu. Yah ini sudah menjadi pemandangan biasa bagiku.
“Pyarrr!!!” rasanya semua benda yang ada di rumahku merupakan benda magic yang memiliki sayap dan dapat menari-nari di udara. Layaknya kupu-kupu yang cantik, piring-piring di rumahku selalu terbang dengan indahnya kesana-kemari. Dan seperti burung di taman, benda-benda yang berhamburan terbang dapat bernyanyi mengeluarkan melody ketika mendarat dan akhirnya pecahan kaca berserakan di mana-mana. Rumahku seperti panggung drama di mana orang tuaku menjadi pemeran utamanya. Mereka selalu memainkan peran antagonis dan berkelahi, persis melakukan beberapa adegan yang mirip seperti film “Power Ranger”. Sedih- melihat keadaan rumah yang tak pernah memainkan nada-nada harmonis kehidupan.
Dulu waktu aku masih kecil, aku dapati diriku bermental kerupuk di mana aku selalu menangis melihat orang tuaku yang tak pernah bisa akur. Namun sekarang aku dapati diriku seperti gadis “Osteoporosis”, cukup gambarkan seperti tulang di mana lapisan luarnya kuat namun sangat rapuh di dalam. Aku berusaha selalu terlihat tegar bagi setiap mata yang memandangku namun sesungguhnya batinku menangis melara.
Aku tak ingin memperdulikan keadaan sekitar walaupun itu adalah keadaan keluargaku sendiri. Aku capek dengan mereka, aku lelah dengan semuanya. Tanpa menghiraukan kedua orang tuaku yang sedang asik berbincang dengan keadaan masing-masing alis yang naik, darah yang mendidih mencapai suhu 980, gerakan tangan yang tak bisa diam dan sesekali kembali membanting barang, aku hanya berusaha lewat di tempat yang aman dari pecahan beling dan hendak melangkah pergi ke SMA 78 tempatku bersekolah dan lalu berusaha lupakan semuannya. Awalnya langkah kakiku baik-baik saja, namun ketika aku hampir sampai di ruang tamu tanpa aku sadari telapak kaki ini menginjak sebuah pecahan botol kaca hasil dari permainan layangan oleh kedua orang tuaku. Seketika itu darah bercucuran dari robekan kaca yang menusuk dalam membelah daging telapak kaki menjadi dua bagian. Aku merasakan sakit yang luar biasa hingga tak kuasa menangis merintih. Padahal aku telah berjanji untuk tidak lagi menangis, tapi nyatanya sekarang aku dapati diriku tak mampu tepati janji itu. Aku selalu takut dan tidak kuat saat melihat darah. Aku menangis miris namun pelan. Ku seret kakiku perlahan sembari mencari kotak P3K namun nihil saja. Darah bercucuran di lantai. Sedih rasanya, apakah kehadiranku tak pernah kasat mata oleh mama dan papa? Apakah mereka tak pernah perduli padaku? Aku yang sedang kesakitan seperti ini sedikitpun tak mendapatkan kepedulian dari mereka. Bahkan sedikitpun mereka sama sekali tidak memberi pandangan mata padaku. Entahlah apakah mereka memang hanya perduli dengan pertengkaran yang tiada akhir saja atau karena memang mereka sedang tak menyadari diriku yang terluka.
“Apakah harus aku sayatkan saja pecahan botol itu pada nadi yang ada di salah satu tanganku? Biarkan semuanya langsung berakhir hari ini”
aku berbicara dalam hati dan lalu menoleh pada tangan kananku. Saat itu aku mengintip tajam dan kaget bukan kepalang saat melihat jam yang tepat berada di atas nadi kananku tepat menunjukkan pukul 07.15. dengan panik dan gegabah tangan ku lalu meraih isolasi putih yang ada di dekat meja ruang tamu. Tanpa pikir panjang ku cabut pecahan botol yang besarnya kurang lebih 4 cm itu dari kakiku sembari menutup mata dan menahan sakit yang luar biasa lalu membalutnya dengan isolasi yang ku genggam erat-erat sambil menahan perihnya. Dengan pincang akupun berjalan keluar menuju sekolah dengan hanya menggunakan sandal.
Seperti biasa gumpalan kapas tersebar tak merata pada langit yang membiru. Aku langkahkan kaki tanpa sedikitpun gairah hidup, “rasanya mau mati saja” pikiran itu selalu terngiang dalam benak. Akhirnya aku sampai di gerbang sekolahku.
“sial! Belum terlambat rupanya” ocehku dalam hati.
“Hei Afwa!”
Sepertinya aku mendengar seseorang memanggil namaku dari kejauhan. Tulang leherku lalu berputar-putar seperti leher burung hantu yang mengawasi keadaan malam namun aku tak tau siapa yang memanggilku.
“Afwa! Afwa! Wah kamu gak denger ya? hehe”
Tiba-tiba genggaman tangan yang hangat serta lembut merangkul pundakku dari belakang. Suaranya yang halus lalu menyadarkan aku bahwa betapa pikunnya diriku yang tak menyadari bahwa yang memanggilku adalah
“Oh kamu Rafa. Baru datang juga” jawabku sambil berusaha memberi sedikit goresan senyuman hanya agar tampak ramah.
“Hehe iya nih Fa, tumben kamu datengnya jam segini” jawabnya dengan ramah sembari memberikan senyuman khas dan menunjukkan sederet gigi nya yang rapi persis seperti milik para model pasta gigi di Televisi.
Kedua tangan cowok asal Bandung ini masih sibuk merapikan rambut model Mohawik nya yang berdiri dengan ujung-ujung yang runcing, salah satu daya tarik yang membuat jantung para perempuan tak tahan ingin melompat keluar. Namun entah mengapa sampai saat ini dia tak pernah berpacaran. Atau mungkin lebih tepatnya dia tak ingin berpacaran walaupun sudah banyak gadis tak tahu malu yang telah nekat menyatakan cinta padanya. Sudah banyak pula yang di tolak oleh dirinya namun tak satupun dari mereka yang lalu membenci dan menjauhinya karena penolakan yang tegas namun tak menyakiti sehingga Rafa pun semakin di sukai untuk di ajak bercerita bareng. Pribadinya yang talk-active, lucu, ramah, dan selalu membuat geli perut orang yang ngobrol dengannya membuat orang lain merasa nyaman berada di dekat dia. Setidaknya itu yang tak sengaja aku dengar dari teman-teman cewek yang duduk di belakang bangkuku yang tak pernah bosan menggosipkan dirinya.
“Hai Fa, kamu kok bengong? Lagi mikirin apa sih?” dia lalu menolehkan wajahnya ke kanan dan ke kiri lengkap dengan jemari panjang nan elok yang memegang dagu runcing dan terbelah itu sembari memancarkan raut keingungan.
“Eh... enggak um tadi aku kira udah telat”. Jawabku sedikit gagap karena terbangunkan dari lamunan singkatku.
“Oya? Wah sama dong! Aku kira aku juga udah telat. Ini pertama kalinya kamu terlambat di SMA ya? Kalau emang iya berarti kita sama. Eh lihat deh tadi aku sampai lupa ngikat tali sepatu loh! Coba lihat i....” Rafa lalu terdiam sembari tangannya menunjuk sepatunya yang belum tersimpul rapi namun kedua bola matanya tak berkedip sesaat saat melihat kakiku yang memprihatinkan.
“Kamu kenapa?” tanyaku sambil memandang dengan lukisan kebingungan di wajah.
“Loh? Kaki kamu kenapa Afwa? Kamu habis nginjak beling?”
“Enggak bukan apa-apa”
“Maaf Afwa tapi kalau kamu biarkan seperti itu lama – kelaman kaki kamu bakal terinfeksi bakteri apalagi kamu hanya nutup lukanya pakai selotip doang. Biar aku bantu bersihkan luka itu” dia berusaha menjelaskan hal yang sebenarnya anak kecil sekalipun tau.
“ Enggak usah tapi makasih, aku gak mau ngerepotin orang lain, lagian ini juga masalah aku kok. Kamu masuk kelas aja” aku enggan menerima pertolongan dia karena aku tau ini akan sangat merepotkan.
“Tapi aku bisa bantu dan itu sama sekali gak merepotkan aku kok. Dulu waktu SMP aku pernah jadi anggota PMR, setidaknya aku tau cara mencegah infeksi pada luka seperti itu” Rafa tetap berusaha membantu.
“Enggak usah” aku lalu berusaha melanjutkan jalanku yang sedikit terpincang-pincang. Kali ini aku sedikit sebel dengan Rafa karena aku paling gak suka kalau di paksa.
“Afwa, tolong tunggu sebentar. Coba kamu lihat Fa, darah itu akan terus-terusan menetes. Kamu mau seluruh sekolah ini di penuhi darah? Lalu kamu taukan kalau sekolah kita ini angker? Hiiii- Konon cerita hantu penunggu di sini paling suka dengan bau anyir darah segar loh? Dan para setan yang ada bakal datang dan nyari orang yang punya darah segar tadi, sehari setelah itu pemilik nya akan di temukan.....”
“Udah stop Raf! Aku gak mau denger masalah hantu ataupun darah! Gak usah ngebohong deh! Tipuan kamu hanya berlaku buat anak kecil yang I-D-I-O-T aja! Lagian udah jelaskan kalau aku itu gak mau!! Bisa gak sih kamu gak usah maksa. Ini hak aku dan terserah aku dong! Asal kamu tau aja mama papa aku gak pernah maksa untuk ngobatin kayak elo! NGERTI GAK! Mama papaku aja sama sekali GAK CARE sama aku!! Jadi kamu gak usah SOK BAIK dan pengertian!!!”
Saat itu mataku gelap dengan amarah. Aku berteriak sambil menunjuk-nunjuk Rafa dengan jari telunjukku tepat di tengah lapangan basket. Saat itu semua warga sekolah yang berada di lantai 1 sampai lantai 3, serta mereka yang baru datang melihat ke arah kami. Seketika wajah Rafa memerah dan matanya sedikit berkaca.
“Maaf Afwa, tadi aku hanya mau membantu. Sekarang lupakan saja” Dengan penuh kekecewaan Rafa pergi meninggalkan aku lalu hilang di balik pintu kelas bertuliskan 1-3.
Aku lalu sadar dan menyesali apa yang telah aku lakukan. Betapa jahatnya diriku. Rafa hanya ingin membantu melihat kakiku yang kesakitan dan mungkin saja iba melihat isolasi putih dengan bercakan darah segar serta ingin menggantinya dengan balutan kecil perban putih yang layak. Cerita horror yang dia buat mungkin saja hanya karena ingin bercanda denganku. Tapi yang aku lakukan adalah memarahinya, menunjuk-nunjuk wajahnya tanpa etika, dan meneriakinya di tengah lapangan yang alhasil membuatnya pasti sangat malu. Itu sama sekali bukan hal sepadan jika di bandingkan dengan hal yang ingin dia berikan untukku. Aku lalu berjalan tanpa expresi memasuki ruang kelas 1-2. Ku hempaskan badanku yang lemas ke arah bangku paling depan pada deret ke 3. Hari itu aku benar-benar terusik oleh semua teman kelasku yang tak henti-hentinya melontarkan pertanyaan layaknya pemburu berita yang gagal. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan padaku selaku narasumber benar-benar pertanyaan yang tak perlu dan tak mau ku jawab. Semua pertanyaan mereka pada intinya adalah sama, yaitu apa yang terjadi pada diriku hingga kakiku terbelah mengenaskan seperti itu dan mengapa hanya berbalut selotip putih saja. Malas rasanya menjawab pertanyaan bodoh seperti itu. Hari-hariku selanjutnya berjalan penuh dengan kebosanan dan rasa bersalah yang berkelanjutan.
BAB IV
PELAJARAN DARI JALANAN
“teeettt!! Teeettt! Teeettt!” Bel pulang sekolah telah memainkan lagunya. Lalu terdengar suara nyanyian anak-anak sekolahan ber-genre-kan Screamo, berteriak dengan hebohnya dan berlarian seperti para narapidana yang baru saja dibebaskan dari penjara, atau mungkin lebih tepatnya mereka sudah benar-benar tak tahan ingin keluar dari kandang ilmu itu.
Aku baru menyadari bahwa peperangan antara hujan dengan matahari telah melahirkan pemenang baru, yaitu sang hujan. Butiran air yang menari dari balik awan hitam tak kunjung mau pergi bahkan setelah aku pulang sekolah.
“Aduh, kenapa hari ini mesti hujan sih!” kataku sambil melangkah keluar pagar sekolah sembari memegang gagang payung yang benar-benar norak. Payung itu berwarna kuning terang dan bermotifkan bunga-bungaan berwarna hijau, biru, dan merah muda, kumpulan warna yang jelas sangat kontras. Setidaknya seleraku jauh lebih baik dan jika aku sendiri yang membeli maka sudah pasti aku tak akan mungkin memilih payung seperti itu.
Di jalanan, aku melihat sekelompok penjual koran yang sedang jongkok di tepi jalan sambil memeluk koran-koran mereka erat-erat, menjaga agar tak satupun rusak dan basah. Saat lampu merah menyala mereka lalu berjalan ke tengah dan mengetuk satu per satu kaca mobil untuk menawarkan koran-koran itu. Ada pula seorang di antara mereka yang menawarkan kepada para pengendara sepeda motor namun yang ini nampak tak begitu serius.
Lampu kini berganti hijau, semuanya bubar dan kendaraan kembali lalu – lalang. Para penjual koran itu lalu kembali berlari ke tepi jalan. Di dekat lampu lalu lintas kelihatannya ada satu orang yang ketinggalan. Ternyata dia terjebak di tengah – tengah lalu lintas yang hidup lagi. Teman-temannya yang sudah di tepian spontan mengejek dan menertawakannya. Namun penjual korban yang terjebak ini malah ikut-ikutn tertawa dengan menunjukkan gigi tengahnya yang sudah ompong dan menunjuk-nunjuk ke arah temannya. Haah.. Andai saja semua hal buruk dapat dengan mudah di tertawakan seperti itu.
BAB V
KELAMKU HILANG
Satu tahun berjalan hampa tanpa sapaan Rafa setiap pagi seperti yang selalu ia lakukan sebelum aku melakukan kesalahan besar padanya. Aku berusaha tak memperdulikan masalah ini seperti yang selalu aku lakukan pada masalah-masalah yang lebih besar yang pernah aku hadapi. Tapi kenapa perasaan menyesal itu selalu menghantui pikiranku? Dia tak ingin berbicara padaku. Hingga kini kami sama-sama telah berada di kelas 2 dan mendapatkan kelas yang sama yaitu 2-1. Saat pengambilan lotre pemilihan tempat duduk, aku mendapatkan Rafa sebagai teman yang duduk sebangku dengan aku. Kami duduk di barisan ke 3 dari kanan dan ke 2 dari depan. Lalu aku coba berbicara langsung padanya, ingin menanyakan apakah dia masih marah padaku atau tidak. Aku takut setengah mati. Jantungku berpacu sangat kuat hingga darah di dalam tubuhku laksana ingin muncrat keluar. Keringatku bercucuran seperti air yang jatuh dari air terjun setinggi 15 meter. Tapi rasanya aku tak sedikitpun memiliki keberanian untuk itu.
“Rafa masih marah” aku berbicara sendiri sembari tangan kananku asik menggambar broken heart yang aku tujukan untuk orang tuaku yang selalu berkelahi.
Rafa lalu menoleh ke arahku dan melihat apa yang sedang aku gambarkan. Saat itu pelajaran matematika, aku ingat betul. Dia lalu berbisik pelan ke araku.
“gak usah mikirin aku dulu, sstt.. lagi belajar loh? Entar kena jewer pak Hasnul gimana?” Suara Rafa membuyarkan lamunanku.
“Loh? Kamu denger?”
“denger apa’an?”
“itu.. yang tadi...”
“haa?”
“ah lupakan sajalah”
“hehehe.. “
“ih malah cengengesan sendiri lagi, jangan-jangaaaan... hiiiii-”
“eh? jangan-jangan kenapa? iya aku denger kok hehe”
“denger apa coba? Aku kan gak ngomong apa-apa”
“wah apa aku yang kege-eran ya? Hehe”
“iya tuh... kamu ge-er banget sih! Hehe”
“wah biasa sih pendengaranku gak pernah salah loh”
“sayangnya kali ini Rafa salah.. weekk!”
“iya-iya deh, ngalah haha. Um lagi gambar apa Afwa?”
“eh enggak gambar apa-apa kok” aku berusaha menyembunyikan gambaran broken heart tadi di balik buku catatan matematikaku.
“Oh, pasti gambarnya buat aku deh! Hayoo jujur!” goda Rafa dengan wajah jahilnya
“eh enak aja, enggak lah. That’s so impossible Mr”
“Eh kok pake Mr sih? Ketuaan itu mah...”
“biarin... Rafa emang udah tua kok hehe”
“engaaaaakk hiks hiks” raut wajahnya makin imut dengan gayanya yang lucu meniru anak kecil yang merengek minta permen. Rasanya manis sekali memandang dirinya.
“wah wah cowok gak boleh cengeng haha. Emang kapan kamu lahir?”
“aku lahir tanggal 14 February. Kalau Afwa kapan?”
“Di valentine’s day dong. Um aku sehari sebelum kamu ultah sih, Cuma tahunnya aku lebih muda dari kamu”
“Kalau aku di hari valentine berarti kamu di malem valentinenya kan? Keren deh!”
“iya hehe..”
Perbincangan terus berlangsung namun sesekali terhenti karena kami harus menyelesaikan latihan yang di berikan oleh bapak Hasnul.
“Oh iya Raf, setahun lalu kamu marah sama aku ya?” wajahku mulai serius.
“Enggak kok Afwa hehe”
“Gak mungkin, kamu pasti marah sama aku. Kamu jujur aja” aku sedikit memaksa dengan menunjukkan wajah kesal dan sedikit cemberut.
“Yee.. ada yang ngambek nih!”
“Yah makanya kamu jawab yang jujur!”
“Iya Afwa, dari tadi juga aku udah jujur kok. Aku itu bukan cowok yang suka bohong. Aku itu gak marah sama kamu. Cuma aku pengen .. um gimana ya bilang nya?” dia berpikir sejenak sembari meletakkan tangannya di dagu menawan itu.
“Ah kamu mah bikin aku bingung. To the point aja lah”
“Iya, Iya. Gini loh kamu kan biasa kalau di tanyain temen suka gak ngerespon, suka di cuekin, terus kadang malah sama sekali gak di bales. Padahal mereka itu pengen banget cerita sama kamu atau ada perlu. Nah makanya ...”
“Oh jadi mau ngebales aku nih ceritannya?”
“eh enggak gitu juga sih, aku cuma mau kamu juga rasa gimana gak enaknya di cuekin sama orang yang pengen kita ajak ngobrol. Rasanya itu gak enak banget loh?” jawabnya dengan nada rilex.
“oh gitu toh” Jawabku singkat
“eh kamu gak marah kan?”
“enggak lah.. thanks yah udah buat aku sadar”
“eh .. aduh bener nih kamu gak marah?” tanya Rafa dengan nada bimbang.
“iya hehe” aku lalu tersenyum manis kepadanya.
Jujur saja aku merasakan ada yang lain dari Rafa. Dia tak seperti cowok lainnya. Entahlah aku hanya merasa nyambung dan enjoy chatting and talking about everything dengannya. Dia lucu dan sering membuat aku tersenyum. Semua hari – hariku berlalu dengan sangat menyenangkan. Aku selalu bahagia saat di pagi hari ku temukan wajahnya yang selalu cerah di terangi sinar matahari sedang tersenyum manis ke arahku. Dia cahayaku seakan pelita yang menerangi ruang hatiku yang mulai hitam kelam. Di juga seakan membawakan aku embun ketenangan yang menyiram deras jiwaku yang layu. Aku berharap selamanya akan seperti ini.
BAB VI
MATAHARIKU MEREDUP
Tak terasa kini kami telah menginjak kelas 3 SMA. Aku tak lagi satu kelas dengannya. Aku duduk di bangku 3-1 namun dirinya jauh di bangku kelas 3-4. Sedih rasanya tak lagi sebangku dengan dia. Hari-hariku selanjutnya tak lagi santai seperti saat berada di kelas 1 dan 2. Semua waktu di isi dengan belajar dan belajar. Sedikit lagi kami akan bertarung dengan Ujian Nasional dan aku sama sekali tak ingin gagal dalam ujian itu.
Sepi di kelas, bel istirahat telah berdentang. Aku langkahkan kakiku selangkah demi selangkah menuju kantin sendirian tanpa gairah. Lalu di pojok kanan kantin pak Soltin nampak Rafa duduk dengn seorang cewek yang tak asing bagiku. Dia adalah Syahira temanku sebangku waktu di kelas 1. Jealous rasanya, entahlah hatiku berkecamuk dan darahku mendidih seketika. Rafa lalu memanggilku dengan senyuman khasnya.
“Afwa! Kamu dari tadi di situ? Kok gak duduk sih? Gabung bareng kita berdua yuk!” ajak Rafa.
“Loh Raf, tapi kan bangkunya cuman dua, Afwa mau kamu suruh duduk di mana?” Syahira berusaha memotong dengan nada envy dan raut wajah tak suka.
“itu kan masih ada bangku kosong, tinggal di tarik aja kan? Tumben banget kamu gitu. Emang kenapa sih? Rame-rame kan lebih asik Syahi...”
Terdengar Rafa tak melanjutkan ucapannya. Iya lalu terdiam. Nampak jemari Syahira lalu menggenggam tangan Rafa dan Cowok Bandung itu kini tak bisa berkutik.
“kereeeen! Lanjutkan saja aktivitas kalian berdua! Lagi asik pegangan tangan di kantin sekolahan! Dasar gatel banget lo Rafa! Cih!” wajahku Puzzle seketika dan langsung berlari masuk kelas. Aku benci melihat Rafa seperti itu. Aku cemburu! Walaupun aku sama sekali tak pernah mempunyai hubungan lebih dengan dia. Aku benci Syahira! Tapi aku jauh lebih membenci Rafa sekarang! Dia jahat banget sama aku. Secepat itu dia dapat teman cewek, um atau mungkin pacar baru dan melupakan aku.
BAB VII
KISAH DI BALIK BULAN PURNAMA
Malam kembali menyelimuti diriku. Malam ini berbeda dengan malam biasanya. Aku harap malam-malam lain pun seperti ini. Tenang, dan tak ada keributan orang tuaku. Aku lalu turun dan melihat pemandangan yang sama sekali tak lazim buatku. Mama dan papaku duduk bareng di sofa! Aku tersenyum bahagia, lalu menghampiri mereka yang duduk bersama dengan tenang.
“mama, papa lagi apa?” sapaku sembari menggoreskan senyuman manis.
“Afwa, mari duduk sayang. Rasanya kita gak pernah seperti ini ya?” ucap mama sambil memperlihatkan wajah lesu.
“Iya” jawabku singkat sedikit bingung. “sebenarnya ada apa? Kenapa lesu seperti itu ma?”
“Afwa, mungkin kamu heran karena selama ini mama dan papa selalu berkelahi, ribut, dan tak pernah akur” jelas papa kepadaku
“Tentu saja, sebenarnya ada apa?” desak ku ingin tau.
“sayang, selama ini papa dan mama selalu berkelahi karena masalah ....” mama tak melanjutkan bicaranya dan mulai melemas.
“hem...” aku seperti merasa mengambil jarum dalam jerami. Mengapa mereka seperti mengajakku untuk main teba-tebakan? Ini membuatku kesal sekaligus penasaran.
“jadi apa alasan kalian selama ini tak pernah akur?” aku kembali mendesak.
“papa minta maaf Afwa, ini menyangkut ... um perni-kahan.. mama dan papa”
“Aku tidak mengerti”
“mama dan papa akan bercerai Afwa, mama harap kamu bisa mengerti keadaan ini. Mama dan papa tidak lagi bisa bersama. Lebih baik kami pisah ranjang dari pada kami selalu berkelahi setiap hari. Mama tau kamu juga pasti lelah melihat mama dan papa yang tak pernah akur dan pasti kamu juga sedih sayang. Jadi tolong terima ini Afwa” Jelas mama padaku.
“Jadi karena itu kalian duduk berdua malam ini? Akur karena telah memutuskan ingin bercerai? Begitu?! Lalu bagaimana dengan aku? Kalian jahat! Kalian gak pernah mikirin perasaan Afwa walaupun sekali aja! Please Mom! Dad! Afwa benci orang tua seperti kalian!! Hiks hiks” saat itu aku berbicara dengan nada yang agak tinggi.
“Maaf Afwa tapi kamu sudah besar, kamu harus mengerti. Papa sudah ajukan surat perceraian ke pengadilan. Nanti kamu tinggal pilih mau ikut papa atau mama”. Tegas papa sedikit menaikkan kedua alisnya.
“Terserah! Kalau perlu cerai saja sekarang! Aku tidak perduli!” aku lalu berlari menuju kamarku yang ada di lantai dua.
“Besok hasil sidangnya Afwa, Papa harap kamu mau datang ke pengadilan dan memutuskan untuk ikut siapa di sana” seru papa.
Aku lalu membanting pintu kamarku. Membuka jendela lebar-lebar. Ku pandangi sinar bulan purnama yang membulat besar di balik jendela kamar. Aku bingung, pikiranku penuh dengan kabut. Entah yang mana yang harus aku pikirkan deluan, masalah perceraian, Rafa, ataukah Ujian Nasional?. Aku butuh seseorang. Butuh seorang sosok yang mau mendengarkan ceritaku sekarang. Aku lalu menangis deras sendiri di kamar. Aku ingin keluar dari penderitaan ini!
“aaaarrrrggghhhhh!!!” aku berteriak seperti orang yang sedang kesurupan.
“Aku butuh kamu sekarang Rafa!!” aku tak bisa berbohong lagi, jeritan hatiku lalu terucap lewat kedua bibir yang basah dan membiru.
Tiba-tiba HP ku berdering. Tanpa melihat siapa yang menelpon aku langsung saja mengangkat, berharap itu telephone dari seseorang yang bisa mendengarkan keluhanku sekarang.
“ya..” jawabku dengan nada sangat lemas
“Hallo Afwa, ini aku Rafa. Kamu lagi sakit Fa?” terdengar suara seorang cowok dari balik gagang HP.
“Rafa? Kamu Rafa yang di SMA 78?”
“Iya, hehe ini aku Rafa Fauzian Aprillio dari SMA 78” Jelasnya
“Lalu kamu tau nomer aku dari siapa?” jawabku dengan nada terkejut
“Aku berusaha minta dari teman-teman yang pernah satu kelas sama kamu, tapi gak ada satupun dari mereka yang punya nomer kamu. Jadi aku minta izin untuk lihat dari data sekolah, maaf aku gak bilang kamu dulu”
“oh iya gak apa-apa. Aku memang gak pernah ngasih nomer aku ke siapa-siapa kecuali untuk data sekolah yang wajib harus aku lengkapi”
“Aku mengerti,”
“Jadi ada apa?”
“Aku mau minta maaf sama kamu”
“mengenai masalah apa?”
“Masalah Syahira yang ngegenggam tangan aku”
“oh itu, selamat ya udah jadian” Aku makin Jealous aja kalau dia menelpon hanya untuk berbicara tntang Syahira.
“Enggak kok Afwa, aku sama sekali gak ada hubungan apa-apa dengan dia”
“hm..”
“beneran Af.. um bener Afwa.. aku suka nya sama orang lain”
“oh, cinta itu ribet. Orang yang mencintai itu ribet juga, pokonya kalau udah ngebahas tentang cinta yang ada itu RUMIT” tegasku.
“enggak kok, kalau orang yang aku suka itu simple aja, dia orangnya santai dan sama sekali gak ribet.”
“jadi kamu nelpon Cuma mau curhat tentang orang yang kamu suka ke aku aja? Gak ada tempat lain ya?”
“um.. sebenarnya”
“Aku bosen”
“um.. aku takut Afwa”
“hah.. apa’an sih! Bingung banget kamu” aku mulai sebel lagi sama Rafa. Aku paling gak suka di buat bingung dan penasaran.
“Tadi waktu aku lagi duduk sama Syahira itu aku lagi curhat sama dia tentang orang yang aku suka, tapi aku ragu orang yang aku suka itu juga punya perasaan yang sama dengan aku atau enggak. Kamu tau kan kalau aku gak pernah pacaran sebelumnya jadi aku gak tau apa cewek yang aku suka juga naksir aku atau justru sayang aku bertepuk sebelah tangan”
“oh berarti masalah kamu udah beres kan? Syahira kan pernah pacaran jadi kamu udah curhat ke orang yang tepat. Kamu salah banget kalau mau curhat ke aku karena aku juga sama sekali gak pernah pacaran. Jelas?”
“Enggak ini itu.. aduh anu.. belum beres, tiba-tiba masalah baru muncul lagi”
“Masalah apa lagi sekarang?! Uh kayak cerbung aja panjang banget”
“um waktu aku lagi curhat dan minta dia cari tau cewek itu juga suka sama aku atau enggak tiba-tiba cewek yang aku naksir juga.. um dia juga dateng ke kantin yang sama”
“maksud kamu?” aku mulai bingung dan merasa ada sesuatu yang ganjil dengan Rafa.
“seketika itu Syahira langsung menggenggam tangan aku layaknya orang pacaran dan cewek yang aku suka langsung cemberut dan kata dia aku um.. ‘gatel’ setelah itu dia pergi. Saat itu Syahira langsung jelasin ke aku kalau cewek itu cemburu berarti dia juga punya perasaan ke aku”
“Rafa...”
“Aku bimbang jadinya, sebenernya cewek itu juga suka sama aku atau enggak. Jadi aku mutusin untuk nelpon dia malam ini. Karena aku gak punya nomernya makanya aku cari ke temen-temen dan akhirnya baru dapat lewat data sekolahan”
“So?” Aku semakin merasa ini aneh.
“um gini, aku sayang kamu Afwa, kamu mau gak jadi pacar pertama dan terakhir aku? Kayak lagunya Sherina ya? He-he-he” dia lalu tertawa kecil- canggung.
“jadi kamu nembak aku?”
“I-i-iya.. maaf berbelit-belit, aku gak pernah nembak cewek soalnya dan ini yang pertama”
Saat itu hatiku luluh lantah. Semua masalah seakan sirna sudah. Rafa ternyata sayang sama aku, ini persis seperti perasaan aku ke dia.
“Um.. aku bukan cewek sempurna, aku punya banyak kelemahan, aku juga kadang suka ngambekkan. Apa kamu bener-bener sayang sama aku?”
“Iya Afwa, aku Sayang kamu, bener-bener sayang kamu. Aku gak pernah main-main soal ginian”
“Aku.. aku juga..”
“Kamu, juga...”
“Aku Juga Sayang kamu” aku rasa itu berarti aku udah nerima dia jadi pacar pertama ku.
“Terima kasih Afwa, Terima kasih banyak! Ya Allah! Aku bahagia banget!” Jawabnya dengan penuh semangat.
“hehe sama-sama”
Malam itu rasanya indah dan sejenak hilang semua pedihku.
BAB VIII
PIANO PUTIH PUCAT
Matahari kini tepat di atas kepala, lonceng berbunyi dan semua pelajaran telah usai. Tiba-tiba aku teringat HP-ku yang sejak kemarin malam belum aku aktifkan. Lalu beberapa saat setelah itu terdengar suara HP-ku berbunyi. Ternyata itu pesan dari Rafa.
“Selamat pagi. Kok tadi malem hape kamu gak aktif? Wah biar konsen buat ujian matematika hari ini ya? :) gimana ujian kamu? Semoga sukses buat Fa.
Oh iya Afwa sayang, selamat ulang tahun.. nanti sore sekitar jam 3 kita ketemu di taman kota ya? Aku tunggu kamu di sana ;)
Pengirim : My Rafa, 13 February 2011 05.25 am”
Ku tolehkan kedua bola mata pada jam biru di tanganku, salah satu pemberian dari Rafa untuk aku.
“Hm masih jam 12.30 lebih baik aku pulang dulu” pikirku.
Ku buka pintu kamarku yang sedikit lapuk lalu ku rebahkan semua tubuh ke tempat tidur. Tanpa aku sadari aku terlelap terlampau jauh ke alam mimpi di mana di dalam sana aku melihat sosok Rafa yang sedang memainkan piano classic dan tersenyum hangat untuk aku lalu entah mengapa Rafa lalu pergi dan menghilang dalam cahaya putih. Tiba-tiba aku terbangun dan kaget bukan main saat melihat jam menunjukkan pukul 16.23 pm.
“Aku harus ketemu Rafa!” aku lalu melompat dari tempat tidur dan bergegas mandi serta bersiap-siap secepat yang aku bisa.
BAB IX
MALAM BERDARAH
Aku lalu sampai di sebuah taman kota tepat pada pukul 17.35 pm. Tentunya ini udah sangat terlambat. Kedua mataku lalu mengintai di setiap sudut kota itu dan di arah barat di bawah pohon cemara aku lihat sosok yang tak asing bagiku. Rafa ada di sana, sepertinya sedang tertidur di atas sebuah grand piano putih besar sembari memegang dadanya. Aku lalu bergegas menghampiri dia yang sedang terlelap.
“uhm permisi, gak di bolehin tidur di sini loh? Hehe.. Bangun yuk Rafa. Aku udah dateng, maaf ya aku telat.” Ucapku sambil mengoyang-goyangkan pundaknya.
“um, hallo Afwa akhirnya... kamu da-tang juga” jawab Rafa terlihat sangat lesu dan pucat.
“Kamu sakit Rafa?! Badan kamu panas banget, wajah kamu juga pucat. Kenapa kamu bela-belain datang ke sini sih!!” aku cemas sembari memegang kening Rafa yang suhunya kira-kira mencapai 40o celcius.
“He-he-he gak apa-apa .. kok. Aku mau kasih hadiah special buat pacar pertama aku. Ini kan hari ulang tahun kamu Afwa” jawabnya sembari menatap aku dengan matanya yang sayu dan sedikit memerah.
“um makasih, tapi aku mau tanya ke kamu, kenapa 3 hari ini aku gak pernah lihat kamu di sekolah?”
“Iya, Aku.. Aku sakit hehe”
“sakit apa?!!”
“enggak parah kok Cuma sakit biasa. Palingan demam aja”
“Uh! Aku benci kalau kamu maksakan diri kamu seperti ini!!”
“Please, jangan panik, ini enggak parah kok”
“Yang namanya sakit ya tetap sakit! Lagian piano ini gimana sampai bisa ada di taman kota? Apa gak ada orang yang marah?”
“aku udah sewa tempat ini, jadi tenang Afwa. Masalah piano besar ini, aku di bantu anak buah papa untuk bawa. Please! biarkan hari ini aku bahagia’in kamu, aku pengen ngasih sebuah lagu yang bener-bener tepat seperti perasaan aku ke kamu. Please!! Jangan buat aku kecewa hari ini”
“Ya udah deh..” aku tak dapat menolak saat melihat mata penuh pengharapannya. Bahkan di saat dia sakit demam seperti itu dia tetap saja memaksakan diri membuatkan surprise untuk aku.
“Ini lagu yang menggambarkan isi hatiku dan apa yang aku harapkan terjadi pada kita. Dengerin ya?”
Lalu dari bawah kerumunan pohon cemara yang menjulang tinggi, terdengar lantunan melody yang menyanyikan irama mellow dari masing-masing tuts nya.
Angin yang berhembus membelai pohon yang menatap matahari di mana garis-garis sinarnya mulai meredup. Sebuah kisah cinta bahkan terukir di bawahnya. Semua yang ada di sana entah itu yang hidup maupun semua benda abiotic nampak benar-benar menikmati lantunan tuts-tuts piano yang di mainkan Rafa.
“... Kau buat aku tertawa, kau buat aku mencari, tentang rasa ini aku tak mengerti. Apakah sama jadinya bila bukan kamu. Lalu senyummu menyadarkanku, kaulah CINTA PERTAMA DAN TERAKHIRKU..”
Rafa menyanyikannya seraya menggerakkan seluruh jemari lentiknya pada Grand piano itu. Walau sedikit tak mulus karena keadaannya yang sedang sakit, aku tetap saja terpukau tak dapat berkata saat melihatnya. Dia memang hebat dalam bidang musik, tarik suara, ataupun pelajaran. Hampir semua bidang dikuasainya kecuali bidang olahraga. Rasanya aku mengaguminya, dan ingin menjadi salah satu fans nya seperti teman-teman cewekku di sekolah. Tapi kini aku temukan diriku telah ada di sampingnya sebagai seorang kekasih. Betapa beruntung kurasakan.
Langit kini bermetamorfosis menjadi Orange kekuning-kuningan. Kami lalu berjalan – jalan seperti permintaan Rafa padaku.
“Apa ini benar tak apa-apa Afwa?”
“Iya, aku udah minta izin mama aku untuk jalan malam ini, mama juga udah izinin aku kok karena aku minta ini hadiah ulang tahun aku”
“Kalau papa kamu gimana? Di izinin juga?”
“Mereka udah cerai”
Saat itu suasana di antara kami sunyi sekejap.
“Maaf Afwa, aku bener-bener gak tau, maaf” Rafa mulai cemas dan takut jika kata-katanya tadi membuat aku tersinggung.
“hehe gak apa-apa kok, santai aja Rafa” jawabku santai sembari memandang langit yang mulai gelap.
“hem, kalau begitu nanti malam jam 8 aku antar kamu pulang ya?”
“iya boleh Rafa” Aku lalu tersenyum padanya.
Kami lalu jalan berdua mengitari kota Jakarta. Namun sepanjang jalan Rafa memang sudah terlihat tak terlalu bersemangat dan sangat pucat.
Saat kami sedang menikmati keadaan malam yang penuh dengan cahaya bintang yang bertaburan, sebuah daun jatuh di pundakku, namun kali ini bukan daun cemara. Rafa lalu mengambilnya.
“Angin yang berhembus menghempaskan daun-daun dari batang pohon. Tak tau kah angin bahwa begitu sulit bertahan menjadi sebuah daun tipis? Dia tak mengerti cinta daun kepada sang pohon. Mataharipun tak mau kalah dalam membuat pohon menderita, menjemurnya dalam sinar yang begitu terik hingga membakar dedaunannya sedikit demi sedikit”
“Maksud kamu apa Rafa?” aku bertanya seolah-olah bingung dengan makna kata puitisnya itu.
“Ini seperi cerita kita berdua” jawabnya singkat
“Jelasin aku, aku gak mengerti maksud kamu”
“Maaf sebelumnya, aku mau jujur sama kamu. Maaf juga aku udah bohong tadi”
“Bohong apa sih maksud kamu!” aku semakin tak mengerti.
“Angin layaknya Tuhan. Dia yang menciptakan dan dia juga yang mengambil nyawa seseorang. Matahari itu seperti penyakit jantung yang udah.. yang udah 2 tahun aku derita”
“Pe-penya-kit jantung!!?” aku shock seketika, rasanya semua darahku berhenti mengalir dan jantungku berhenti berdetak.
“he—he i-iya Afwa, Aku udah di vonis punya penyakit jantung stadium akhir, baru sekitar dua hari yang lalu aku berobat ke dokter dan mendengar kabar buruk itu. Maaf aku baru kasih tau kamu sekarang. Lalu pohon itu seperti kamu di mana aku yang menjadi daunnya. Matahari yaitu penyakit yang aku derita. Dia tak pernah mau mengalah dengan diriku. Setiap harinya dia masuk dan membuat aku sakit tapi aku ingin tetap bertahan walaupun hanya sebagai daun tipis di pohon hati kamu. Seperti yang aku bilang ‘Matahari juga tak mau kalah dalam membuat pohon menderita, menjemurnya dalam sinar yang begitu terik hingga membakar dedaunannya sedikit demi sedikit. Aku benci diriku yang menyadari bahwa penyakit ini juga pasti akan membuat kamu sedih. Dan kapanpun angin bisa saja berhembus kencang dan membawa pergi daun jauh dari pohonnya. Kapanpun Tuhan bisa saja memanggil aku” dia mengakhiri semua perkataannya dengan nada suara yang semakin melemas lalu menggenggam erat kedua tanganku yang dingin.
“Kamu sayang sama aku kan Afwa? Kamu bener-bener sayang sama aku kan? Tolong bilang iya, aku gak mau bimbang dalam perasaan ini sampai nanti Angin kiriman dari Tuhan membawa terbang nyawaku” iya lalu menangis di bawah langit melapang. Kali ini bintang tak lagi terlihat dan cuacapun menjadi gerimis.
“Bisa gak sih kamu gak usah bilang-bilang soal mati, hah!! Ini gak lucu! Sama sekali tidak!! AKU BENCI RAFA!!!!” seketika aku hempaskan tanganku dari genggamannya dan berlari.
Mataku buta dan di selimuti bayang-bayang kematiannya. Aku benci dirinya! Mengapa Tuhan harus memberikan penyakit itu melekat di tubuh orang yang paling aku sayang?! Kenapa Tuhan benar-benar tidak pernah adil pada diriku?! Apa aku tidak pantas dan tidak akan pantas dalam menerima sebuah kebahagiaan?!
Aku tak menyadari bahwa diriku telah melewati sebuah rel kereta di pinggir jalan. Dari belakang Rafa berusaha mengejarku sembari memegangi dadanya kuat-kuat. Wajahnya menggambarkan kesakitan yang luar biasa. Dia lalu terjatuh dan cengkraman tangan pada dadanya semakin kuat. Aku rasa penyakit jantungnya kambuh akibat dia berlari sekuat mungkin untuk mengejarku!
“Aaaaarrrrgggghhhhh!!! Sakittt!!! Sakit!!!” Iya menjerit sangat kuat, hujan pun turun semakin deras.
Aku lalu menoleh dan melihat Rafa yang guling-gulingan kesakitan. Aku berlari sekuat tenaga untuk menghampirinya. Namun...
“teeeeeettttttt!!!! Debruuuukk!!!” kereta ternyata jauh lebih cepat dari pada lariku untuk menghampiri Rafa di sana.
Di depan mataku, kedua bola mata ini menjadi saksi kematian dirinya. Darahnya muncrat keluar membasahi wajah dan bajuku. Hujan menangis, akupun menangis.
“Rafaaaa!!! Kamu jahattt!!! Kenapa kamu ninggalin aku dengan cara seperti iniii!!! Mana janji kamu?!! Kamu bilang malam ini kamu bakal ngantarin aku pulang!! Tapi... tapi kenapa justru malah kamu yang pulang ke sisi Tuhan??!!! Kamu gak boleh!! Gak boleh ninggalin aku sekarang!!! Aku belum siap Rafa, BELUM SIAP!!! Bangun Rafa, aku mau bilang aku aku sayang kamu, aku bener-bener sayang sama kamu seperti apa yang ingin kamu dengar tadi hiks hiks.. tapi sekarang kamu gak akan pernah bisa dengerin aku lagi”
Lalu aku dekati tubuhnya yang dingin. Aku genggam tangannya yang tak lagi hangat. Aku rasa beberapa menit yang lalu saat ia menangis di depanku untuk mendengar kata sayang dariku adalah saat terakhir aku mampu menggenggam tangan hangatnya. Sekarang, matanya masih saja terbuka lebar menggambarkan kesakitan, entahlah kesakitan akibat serangan jantung, akibat sakit hati padaku, atau kah... ataukah sakit karena tulang belulangnya kini remuk dan rata akibat hempasan kuat sebuah kereta yang melaju? Aku rasa semua kesakitan itu terangkum jadi satu, semua itu.. semua itu salahku.
Aku jambak seluruh rambutku, menyesal luar biasa. Nyawa orang tak akan mungkin bisa di ganti. Kematiannya akibat diriku, ke-egoisanku, padahal dia ingin skali membahagiakan diriku, tapi mengapa malam ini justru aku mengantarkannya pada maut kematian? Betapa jahatnya diriku, aku tak dapat memaafkan kesalahanku ini.
Dia tewas dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Tangan kirinya entah ada di mana, kaki kanannya kini tak lagi berbentuk, baju putihnya kini basah dengan darah. Aku peluk dia dalam-dalam, namun mengapa tulangnya terasa kian meremuk saja? Aku menangis di saat bersamaan para warga datang. Selang beberapa menit kemudian akupun pingsan di sebelahnya.
Hari kepergiannya tepat jatuh pada hari ulang tahunku. Dan hari pemakamannya adalah tepat di saat dia berulang tahun. Dari pihak keluarganya lalu memberikan setangkai mawar putih. Kata mereka pihak kepolisian menemukan mawar ini di balik kemeja putih yang Rafa pakai di malam kejadian maut itu. Di baliknya terdapat sebuah surat yang di tulis dengan tulisan tangan yang aku kenal betul itu adalah tulisan Rafa.
“Dear Afwa.
Malam ini di hari ulang tahun kamu, aku pengen ngebahagiakan kamu makanya aku sengaja pengen buat surprise di taman kota. Aku mau bilang terima kasih atas hari-hari menyenangkan yang sudah kita lewati bersama, yah walaupun kita baru pacaran selama empat belas hari atau 2 minggu ini tapi aku udah bahagia sejak pertama kali aku kenal sama kamu di SMA. Aku juga pengen kamu selalu bahagia dan lebih bahagia setelah umur kamu bertambah satu. Aku sayang Afwa, terima kasih udah mau jadi pacar pertama aku dan aku pengen kamu juga bisa jadi pacar terakhir aku sih hehehe. Gak ada larangan untuk berharapkan? :D
I Love “RFAAFR” (Rafa Fauzian Aprillio dan Afwa Ferrisya Radhian )
“RFAAFR” Rafa For AfwA ForeveR”
Sweet Regards : Rafa”
Rasanya mawar putih yang di berikan olehnya benar-benar sama seperti keadaan terakhir Rafa. beberapa helai kelopaknya menjadi terlepas, mawar itu telah melayu dan tertinggal bercakan darah pada ke-13 helaian mahkotannya, ke-2 daunnya, dan pada batang. Namun tak lagi tercium bau anyir seiring lamanya waktu berlalu.
Kelopak yang terlepas seperti di simbolkan dengan beberapa bagian tubuh Rafa yang patah, mawar yang layu seakan membawa senyumannya yang ikut layu dan tak kan pernah lagi kembali, dan bercakan darah itu persis seperti keadaannya di malam itu. ke-13 helaian mahkotannya, ke-2 daunnya, menggambarkan tanggal kematiannya, dan batang menggambarkan tubuhnya yang sudah kaku.
“Maaf Rafa, aku gak yakin bisa seperti yang ada pada surat kamu. Aku rasa aku gak bisa bahagia seperti dulu setelah kamu pergi ninggalin aku sendirian. Terima kasih juga udah nepatin janji kamu untuk jadikan aku pacar pertama dan terakhir kamu seperti lagu Sherina yang pernah kamu nyanyikan dulu. Kenangan itu manis, manis banget” Aku lalu tersenyum tipis dan menangis.
Aku memandang matahari hari ini. Tak satupun geraknya menghindar dariku, tak bergeming. Meski ku tahu ia sesungguhnya hanya menjauh sedikit demi sedikit. Tak satupun yang mengusiknya. Akupun tak mampu dan tak ingin berbuat sebodoh itu.
Masih tersisa kenangan tentang hujan, yang membasahi seseorang di depan wajahku. Saat itu ku cari-cari matahari, namun ia tak jua menengokku. Bahkan hingga hujan telah pergi. Dia yang sekarang telah pergi turut serta membawa matahari bersamanya.
Sekarang hujan berhenti, dan matahari sudah kembali. Namun dirinya tak kunjung datang menemui, dan membiarkan hujan terus membasahi hati ini.
0 comments: