KARENA LANGIT TAK SELAMANYA CERAH
KARENA LANGIT TAK
SELAMANYA CERAH
Karya : Niluh Ayu
Mutiara Ariyanti
Kita masih memandang langit yang
sama walaupun rupanya tak selalu seperti itu adanya. Terkadang dia berwarna
putih dan tertutup oleh awan yang bagaikan kapas. Kadang wujudnya berubah menjadi
gelap dan berwarna hitam. Sesekali hujan menangis dan mengguyur bumi dengan
derasnya. Namun tak jarang pula biasan cahaya yang membentuk pelangi mewarnai
cerahnya hari untuk mengibur langit yang cengeng. Seperti wujud langit yang
selalu kita tatap berdua, berubah-ubah dan tak
selalu pasti. Seperti itu pula hidup yang kita jalani sekarang ini.
Aku bukanlah Tuhan. Aku juga
bukan sang Maha pencipta segalanya, sudah pasti. Aku bukan suatu zat mulia yang
memiliki kekuatan diluar batas kemampuan manusia untuk dapat mengatur segala
sesutau dan menakdirkan serta menciptakan hal yang sempurna. Aku hanya manusia
biasa, ya tanpa kemampuan super untuk mengetahui masa depan secara pasti. Hidup
ini kadang membingungkan. Tidak selalu sama dan tidak selalu bisa diprediksikan
secara tepat. Belum tentu apa yang terjadi saat ini akan terjadi pula hal yang
sama esok, walaupun waktu memang selalu berputar rutin dengan cara yang sama,
monoton.
Aku terkadang takut jika esok
semua kebahagiaan ini akan luntur begitu saja. Aku takut besok senyuman yang
terlukis di wajah kita masing-masing tak lagi nampak. Aku takut genggaman erat
tangan kita sedikit demi sedikit mulai merenggang. Aku takut hangatnya sinar
matahari tak lagi sehangat persahabatan kita. Aku takut persatuan kita mulai
tak lagi terjalin. Aku takut iri dan benci mulai hadir di hati kita
masing-masing. Aku takut sinis dan cibiran mulai hadir menghiasi setiap kata
yang keluar dari bibir kita. Aku takut kamu akan lebih peduli dan menemukan
orang baru yang lebih baik dan lantas melupakanku.
“kamu jangan pikir yang aneh-aneh
dong, kita akan jadi sahabat selamanya” tanganmu mulai menggenggamku.
“Aku hanya takut” aku tertunduk,
menggenggam jemarinya semakin erat.
“Kenapa? Apa kamu tak bisa
mempercayai aku?” kali ini dia mulai ragu.
“bukan.. bukan begitu”
“Lalu apa? Aku gak mau kamu mikir
hal-hal aneh yang semoga gak akan terjadi sama kita” dia lalu tersenyum tipis
dan memegang tanganku di depan dadanya.
Aku
tau diapun sedikit ragu. Mengapa? Kata “semoga” yang terlontarkan seolah
menggambarkan sedikit ketakutan yang sama seperti yang aku rasa. Namun dia tak
ingin memperlihatkannya. Dia tak ingin membuatku yakin dnegan kerguanku itu.
“Aku
hanya takut, itu aja kok. Ya soalnya perasaan orang itu kan biasa berubah kapan
aja. Aku takut semua akan terjadi sebaliknya”
“kenapa
kamu berkata seperti itu? Kenapa kamu tiba-tiba berpikir begitu? Apa kamu mulai
merasa tidak nyaman dengan persahabatan kita?” keningnya mengkerut. Matanya
terlihat meminta suatu pengakuan dariku.
“Enggak,
enggak sama sekali. Aku ngerasa nyaman kok. Cuma sedikit lagi kan kita bakal
pi-pisah” aku kembali tertunduk memandangi kerikil-kerikil kecil di bawah
kakiku”
“Perpisahan
ya. Pertama kamu harus tau kalau perpisahan itu gak bisa dipungkiri. Semua
orang juga bakal pisah. Bahkan untuk pasangan suami isteri yang udah saling
mencintai aja bisa terpisahkan oleh kematian…” dia lalu memandangi langit sore,
“ya termaksud kita, aku tau, sedikit lagi.” Bibirnya lalu mengatup.
“iya,
itu yang sejak tadi aku takuti. Sejujurnya aku khawatir”
“khawatir?”
dia lalu mendesah sesaat dan menungguku untuk menjawab.
“Nanti
kalau kita udah lulus, kamu akan nemuin teman baru”
“Ya
kamu juga kan? Hehe” tawanya seolah tertahan oleh sesuatu.
“terus
kalian bakal main dan ketemu sama-sama lebih sering”
“Itu
kan hanya masalah frekuensi karena tempat kuliah yang sama”
“dari
situ kalian bakal akrab.. dan..” aku tak ingin melanjutkan, berharap dia
mengerti apa yang aku maksudkan.
“Oh
kamu cemburu ya kalau aku lebih dekat dengan yang lain? Hahaha cie kayak pacar
aku aja cemburuan hahaha” dia tertawa lepas kali ini. Dia semakin terlihat
cantik saja dengan ekspresi seperti itu.
“Ih
kamu ini! Aku gak sama tau kayak pacar kamu! Aku kan cewek! Jangan-jangan kamu
lesbian ya! Ih takut aku, diem-diem kamu naksir aku ya!” aku mulai ngeledek dan
ngelantur, susasana mulai lebih ceria.
“ye!
Kamu pikir aku homosex apa? Aku gak bilang naksir kamu kok. GR ya kamu haha”
“Ya
habisnya.. uh iya deh hehe. Tapi aku serius tadi”
“Iya,
aku tau kekhawatiranmu itu. Aku juga sering kok mikir kayak gitu. Gimana nanti
kalau haluan kita udah berbeda, tempat kita menimba ilmu udah gak sama,
hari-hari yang kita jalani udah gak berduaan lagi, kita udah gak selalu pergi
kemana-mana tempelan terus kayak perangko dan suratnya, kita udah gak kayak bapak
Gatot dan kumisnya yang selalu terlihat klop, kita..”
“eh
stop, stop! Kok ada kumis pak Gatot sih?” aku memotong hayalannya yang mulai
melambung jauh.
“hehe maaf deh, aku tiba-tiba
inget aja. Kan dari sekian banyak guru kita, beliau yang paling mudah diinget
dengan style nya yang beda sendiri
itu loh!”
“Ah sama aja kok style guru-guru kita. Toh juga baju yang
dipakai sama semua, Seragam. Inget style
apa kumisnya nih!? apa mungkin kamu jatuh cinta ya sama kumisnya? Jadi inget
terus deh! Haha” obrolan kami mulai mengarah ke arah candaan.
“Yee… enggak lah hahaha. Aku tau
kita bakal kangen semua yang ada di sekolah ini. Bahkan guru-gurunya mulai dari
yang paling baik sampai yang paling killer
kan nada semua”
“Apalagi ibu Rose! Gila deh tuh Ibu
kalau ngasih PR tebel nya minta ampun!”
“Iya! Kalau di suruh nyatat banyak banget!
Kalau ngedikte aja cepet nya kayat kereta yang babalas ‘seeettt’ udah tiba-tiba
udah sampe di titik aja! Padahal baru juga nulis dua kata hahaha”
“ah kalau itu sih karena kamunya
aja yang lambat nulisnya!” aku menpuk pundaknya dan tertawa.
“ah enggak juga kok hehehe. Tapi
ya walaupun sering terlambat nyatat aku kan bisa minjem punya kamu!” dia balik
menepuk pundaku.
“ah dasar kamu sejak dulu sama
aja haha”
“ya that’s the real me. Congrats you’ve known! Tapi kalau kita pisah
aku gimana dong? Kalau telat aku minjem catatan siapa?”
“ya pinjem temen baru kamu aja”
aku sedikit sewot.
“Ih kok kamu jadi sewot gitu sih
bilangnya. Jangan cemburu dong sayang!” dia mulai menggeliat manja dan memelukku.
“Ih geli ah! Genit banget
meluk-meluk. Ya kan ada temen baru kamu nanti”
Dia menarik napas yang cukup panjang, “Kita
tidak mungkin hidup selamanya dengan orang yang sama. Ada yang datang dan ada
yang pergi. Tapi bukan berarti setiap orang yang singgah di kehidupan kita sama
semua. Belum tentu yang baru lebih baik. Kamu ngerti maksud aku kan?”
“YES, I got it so clearly. Aku
cuma gak mau kamu ngelupain aku”
“so do I”
“kalau aku ya gak bakal lupa sama
kamu lah!” aku berbicara tegas seperti sedang membacakan sebuah ikrar.
“so do I”
“kok dari tadi ‘so do I” terus
sih?”
“hm, aku bakal lakuin hal yang
sama seperti yang kamu lakuin selama kamunya gak berubah dan tetap seperti ini”
“Lalu kalau aku berubah?”
“aku gak mau kamu berubah.”
sebuah jawaban yang singkat dan pernyataan yang jelas tapi sebenarnya tidak
menjawab pertanyaanku sebelumnya.
“Setiap orang bisa berubah setiap
saat”
“itu tergantung masing-masing
individunya. Bagaimana dia mengontrol dirinya karena hanya dia yang paling
memahami apa yang sebenarnya dirinya mau dan butuhkan”
“butuhkan?” aku bertanya dan
memintanya memperjelas kalimat yang barusan terucap.
“Iya, yang dia butuhkan. Seperti
apa teman yang dia butuhkan di masa-masa saat dirinya mulai menjadi lebih
dewasa nanti”
“Aku mengerti kok apa yang diriku
butuhkan dan apa yang diriku mau”
“seperti apa?”
“aku mau dan aku butuh teman baik
seperti kamu yang udah mengerti semua sifat buruk dan menjengkelkanku tetapi
masih mau bermain dan menjadikan aku sahabatmu”
“hehehe makasih” dia tersenyum
malu padaku, “ Aku juga sama. Aku takut aku gak bisa jadi sahabatmu seperti
yang kamu butuhkan saat dewasa nanti karena masa-masa seperti sekarang dan masa
yang akan datang akan jauh berbeda”
“ seperti yang kayak kamu bilang
tadi kalau ada yang datang dan ada yang pergi. Tapi bukan berarti setiap orang
yang singgah di kehidupan kita sama semua. Belum tentu yang baru lebih baik.
Aku percaya kok kalau kamu bakal jadi yang terbaik di antara teman baik yang
aku punya” aku lalu memeluknya.
“Aku juga percaya kamu adalah
teman yang terbaik diantara teman baik yang aku punya” dia balik memelukku.
“jangan lupakan saat-saat seperti
ini ya? Janji ya?”
“iya aku janji. Kamu juga ya?”
dia mengangkat jari kelingkingnya.
“Iya aku janji” aku lingkarkan
kelingkingku ke miliknya yang ukurannya lebih kecil dan kami berduapun berjanji
di bawah langit sore yang teduh.
Bahagia menyelimuti hatiku saat
ini. Dan tak ada pula yang mampu mengetahui seberapa bahagiakah aku esok hari.
Masih samakah seperti ini? Aku hanya mampu berharap kami berdua mampu menepati
janji kami dan selalu menjadi sahabat seperti hari ini.
Langit sore indah sekali, orange
warnanya. Aku tau bahwa tak ada yang mampu mengetahui secara pasti warna langit
apa yang akan hadir esok hari. Aku hanya mampu berharap langit selalu indah
seperti hari ini.
Seperti langit yang tak selalu
sama setiap harinya. Seperti itulah realita kehidupan daN perasaan setiap
orang, tidak selalu sama, dan TAK ADA KEPASTIAN.
3 comments: